Senjakala

Prolog

SENJAKALA revisiPernahkah engkau mendengar kisah tentang sepasang bocah kembar yang bermain di celah-celah tebing. Pernahkah kau dengar kisah mereka yang menjadi kesayangan raja-raja yang memerintah berabad lalu. Pernahkah kau dengar lengking tawa mereka yang nyaring saat matahari pagi berebut kuasa dengan malam yang dingin. Legenda ini telah diceritakan turun-temurun dan masih hangat dibicarakan.

Pantai Lovina, Oktober 2000

Sesosok tubuh terhempas dalam genangan berpasir. Subuh yang hening berganti dengan kegemparan. Nelayan-nelayan yang hendak menjala ikan di laut berkerumun dan mengeluarkan suara dengung yang menyerupai ribuan tawon. Tubuh itu adalah tubuh seorang bocah berkulit cokelat. Seluruh wajah dan tubuhnya bersemu kebiru-biruan. Ada darah yang mengental di sudut bibir dan kakinya. Sepertinya tubuh mungil itu telah dihantam dengan semena-mena, entah oleh siapa? Barangkali tubuh itu telah menjadi mayat, jauh sebelum hantaman terakhir menghajarnya.

Tubuh itu kemudian diangkat dari air yang menggenang. Pasir yang mengotori tubuh dan wajah dibersihkan dengan guyuran air. Alangkah tampannya wajah bocah laki-laki ini. Terdengar gumaman bernada prihatin. Nada-nada marah. Nada-nada khawatir. Anak siapakah yang gerangan bernasib demikian malang? Warga sekitar semakin banyak yang berdatangan. Ibu membawa anak-anak mereka yang masih kecil. Terdengar jeritan ngeri begitu perempuan-perempuan itu melihat dengan jelas sosok tubuh bocah itu.

Kulkul bulus terdengar membahana di kawasan pesisir yang biasanya dibuai ketenangan. Semakin banyak warga yang berdatangan untuk membunuh rasa ingin tahu. Mereka tidak percaya di pantai mereka yang begitu suci ditemukan jasad manusia. Gumam dan desah terus saja terdengar tanpa putus-putusnya. Seperti tak habis-habisnya kata-kata untuk mempertanyakan. Barangkali karena pemandangan itu terlalu tak mengenakkan hati. Terlalu melukai jiwa. Terlalu menyedot rasa ingin tahu. Saat tak putus-putusnya pertanyaan, hentakan sepatu lars membuat semua orang berpaling. Dua orang berseragam polisi menyeruak kerumunan. Sejenak keduanya memeriksa mayat bocah itu.

“Kami harus membawanya ke rumah sakit untuk diautopsi,” ungkap salah satu polisi yang berkumis tebal kepada orang-orang yang masih melongo. Mereka masih bergeming ketika dua polisi itu perlahan mengangkut mayat itu dengan mobil bercat hitam. Kerumunan baru bubar setelah mobil hitam itu membentuk sebuah titik di kejauhan. Mulut itu masih saja memperdengarkan kalimat-kalimat lirih walaupun langkah kaki mereka sudah begitu jauh dari tempat itu. Siapakah gerangan bocah tak dikenal itu?
**

Gunung Kawi, Januari 2000

Matahari tepat berada di atas kepala saat Lily tiba di kawasan wisata Candi Tebing Gunung Kawi, Gianyar. Walaupun matahari bersinar dengan sangat terik, udara masih terasa sejuk. Barangkali karena daerah ini berada pada kawasan perbukitan.

Lily menghirup napas dalam-dalam, merasakan aroma segar di paru-parunya. Aroma sangit tanah terasa sangat nikmat. Hampir dua pekan berada di Bali, Lily selalu melakukan ritual yang sama sebelum memulai liputannya.
Mengunjungi Candi Tebing Gunung Kawi membuat Lily merasa dibawa ke masa lalu. Candi tua yang terpahat di tebing-tebing itu terlihat begitu misterius dan menghadirkan nuansa magis. Lily sudah merasa perasaannya terpengaruh ketika ia mulai berjalan menuruni ratusan undakan menuju ke bagian dalam candi.
Liputan yang harus dilakukan Lily kali ini tergolong ringan. Mungkin atasannya berharap Lily sesekali menikmati liburannya. Karena, bagi mereka dedikasi Lily terhadap pekerjaannya sudah terasa di luar batas. Selama lima tahun terakhir Lily tidak pernah mengambil cuti tahunannya. Ia hanya tidak masuk kalau sedang sakit. Kantor koran Memoar seolah menjadi rumah kedua bagi Lily.

Mas Tony sering geleng kepala bila melihat Lily begitu suntuk dengan layar komputer di depannya. Tidakkah kamu bosan dengan suasana kantor ini, Ly? kata redakturnya itu suatu ketika. Lily hanya menanggapi kata-kata itu dengan senyuman kecil.

Lily sangat menikmati pekerjaannya sebagai wartawan. Pada saat bekerja, waktu seolah-olah hilang. Begitu Lily merasa puas dengan tulisannya barulah ia meninggalkan meja kerjanya untuk pulang beristirahat.

Itulah yang ia lakukan hari demi hari, minggu demi minggu. Ternyata tahun demi tahun pun lewat. Mungkin ada satu hal lain yang membuat Lily seolah kesetanan dalam bekerja. Lily merasa enggan pulang setelah putus dengan pacarnya, Rafa. Laki-laki yang belum juga enyah dari pikirannya.

Rafa meninggalkannya demi sebuah cinta lain. Alasannya karena Lily terlalu sibuk dengan dunianya sebagai wartawan. Aku bukan pacarmu Ly, koran itulah pacarmu, kata Rafa. Lily hanya ternganga dan kehilangan kata-kata saat itu.

Benarkah ia telah begitu sibuk, sampai-sampai Rafa berkata begitu. Ah sudahlah, barangkali itu hanya alasan Rafa untuk meninggalkannya. Lily mengembuskan napasnya kuat-kuat, berusaha membuang sakit hati yang masih tersisa di dadanya.
Pekan lalu, tiba-tiba saja Mas Tony memanggilnya dan menyodorkan tiket pulang pergi Jakarta-Bali. Buat kamu, liputan di sana. Proyek promosi wisata sekalian jalan-jalan. Aku takut suatu saat lihat kamu digiring ke rumah sakit jiwa kalau nggak pernah libur, katanya dengan senyum menggoda.

Lily memasang wajah galak untuk menanggapi candanya itu. Sudah separah itukah kegilaan Lily dalam bekerja? Bukankah ia hanya berusaha bekerja dengan serius untuk memaksimalkan hasil kerjanya? Tapi, tidak apa-apalah, Lily senang mendapat kesempatan ini. Dengan begitu ia bisa jalan-jalan gratis dengan liputan yang tergolong ringan.

Lily hanya harus meliput sejumlah tempat wisata yang mulai berkembang, namun tidak seramai tempat-tempat wisata yang sudah lebih terkenal. Ada sepuluh objek wisata yang harus ia liput, tersebar di berbagai kabupaten di Bali. Lily harus membuat tulisan ringan mengenai tempat-tempat wisata itu ditambah foto-foto kawasan wisata tersebut. Gunung Kawi adalah tempat wisata terakhir yang harus ia liput.

Langkah-langkah Lily memasuki dan menuruni anak tangga terdengar bergema di lorong gua yang dimasukinya. Hari ini Gunung Kawi terlihat cukup ramai. Turis-turis berambut pirang, berambut cokelat, dan berwajah Asia berpapasan dengan Lily di lorong itu. Lily sedang bersenandung lirih ketika telinganya mendengar suara orang berlari yang semakin dekat dengannya. Dua langkah kaki yang saling berkejaran. Ketika menoleh ke belakang, Lily terkesiap, seorang bocah laki-laki hampir saja menabraknya.

Muka bocah itu tinggal beberapa senti saja dari mukanya. Lily merutuk dalam hati pada kenakalan bocah itu. Untunglah, bocah itu dengan sigap melompat ke samping kemudian meneruskan larinya.

Jika tidak, pastinya Lily sudah jatuh berguling-guling.
Lily cepat-cepat menyingkir karena beberapa saat setelah si Bocah Laki-laki, seorang bocah perempuan berlari kencang mengejarnya. Muka si Bocah Perempuan tampak memerah dan terengah. Kedua bocah itu tentulah tinggal di kawasan ini, jika tidak, tidak mungkin balapan lari di tangga seterjal ini. Lily meneruskan langkah sambil terus merapatkan tubuhnya ke bagian pinggir. Ia khawatir ada gerombolan bocah lain yang berlarian di sana.
**

“Bagus Ly, fotomu asyik-asyik. Tapi, kayaknya masih ada yang kurang?” kata Mas Noch, redakturnya, lewat telepon.
“Yang mana, Mas?”
“Ada beberapa gambar bagus yang kamu dapat dari Gunung Kawi. Tapi, beberapa di antaranya buram karena kameranya bergerak. Kamu bisa ambil ulang?”
“Bukankah masih banyak foto yang lain, dari objek wisata lain, masih belum cukup?”
“Aku suka sekali beberapa foto itu. Foto itu akan jadi foto utama di display foto koran akhir pekan. Masih ada waktu, kamu bisa ambil ulang?”
“Bisa Mas. Besok pagi saya ke sana lagi.”

Keesokan harinya, Lily hanya membawa satu ransel kecil ke Candi Tebing Gunung Kawi. Maklum, hanya beberapa foto yang ia perlukan untuk memenuhi permintaan Mas Noch. Lily kembali memasuki bagian dalam candi. Ia memasuki ruang demi ruang. Ternyata masih banyak bagian candi yang belum dilihatnya kemarin. Mas Noch pasti akan semakin kagum dengan hasil jepretannya kali ini.

Candi Tebing Gunung Kawi terbagi menjadi dua bagian utama yang dipisahkan oleh Sungai Pakerisan yang membujur dari arah utara ke selatan. Ada sembilan gugus candi, lima di sisi timur dan empat di sisi barat. Konon candi ini dibangun untuk dipergunakan sebagai makam Raja Bali pada masa itu, yaitu Raja Udayana. Selain dua kelompok gugusan itu, di bagian timur Sungai Pakerisan juga terdapat kelompok-kelompok candi tambahan yang membentang hingga ke kawasan persawahan.

Candi-candi itu terdiri dari ruangan-ruangan yang digunakan sebagai tempat pertapaan dan tempat beristirahat bagi para petapa. Alangkah luar biasanya bangunan yang begitu istimewa diciptakan pada abad 11 Masehi. Batu yang demikian keras dipahat menjadi ruangan-ruangan yang sangat indah. Lily tidak bisa membayangkan betapa hebatnya para ahli bangunan yang mengerjakannya pada masa itu.

Setelah meneliti setiap sudutnya lebih seksama, Lily semakin mengagumi tempat wisata terakhir yang harus diliputnya ini. Lily berjanji akan datang lagi ke tempat ini suatu saat. Dengan bersenandung kecil ia menjepret setiap sudut candi yang dianggapnya menarik. Foto-foto yang sesungguhnya tidak diminta oleh redakturnya.

Lily ingin menyimpannya sebagai koleksi pribadi karena ia begitu terpesona pada kompleks candi ini. Sebuah mahakarya yang belum banyak diketahui orang sehingga tempat ini belum menjadi tempat wisata favorit. Setelah puas dengan foto-foto untuk koleksinya, Lily kemudian menuju ke lokasi gugusan lima candi yang harus ia ambil ulang. Sepuluh foto ia siapkan untuk Mas Noch. Mudah-mudahan Mas Noch puas dengan hasil jepretannya kali ini. Lily menarik napas panjang setelah menyelesaikan pekerjaannya.

Lily bergegas memacu mobilnya ke kantor. Ia ingin segera menyelesaikan tugas Mas Noch agar bisa segera menyelesaikan seluruh tulisannya di semua kawasan wisata. Waktu yang dimiliki tidak banyak. Lusa, ia sudah harus kembali ke Jakarta. Pukul delapan malam lewat lima menit, Lily menuliskan titik pada bagian akhir tulisannya. Ia kemudian mengirimkannya lewat email kepada Mas Tony dan Mas Noch.

Lily mengeliatkan tubuhnya yang terasa pegal karena duduk terlalu lama. Ia mengembuskan napas lega. Akhirnya, rampung juga semua tugas yang harus dikerjakannya. Lily memutuskan untuk membuat satu folder untuk foto-fotonya yang berasal dari Gunung Kawi. Ternyata foto hasil jepretannya cukup banyak jumlahnya. Sebanyak enam puluh tiga foto. Lily harus menghapus sebagian foto yang jelek agar komputernya tidak terlalu berat menampung foto sedemikian banyaknya.

Lily meneliti satu per satu foto hasil jepretannya. Walaupun jumlah foto-foto yang dihasilkannya demikian banyak, ternyata hanya sedikit yang buram dan kabur. Sebagian besar foto-foto itu malah terlihat sangat hidup dengan pengambilan angle yang tepat dan pencahayaan yang bagus. Lily merasa sayang untuk menghapusnya. Ia memutuskan untuk menyimpan foto-foto itu dalam file tersendiri dalam sebuah CD.

Dari sekian banyak foto yang diamatinya perhatian Lily tersedot pada sebuah foto. Foto itu adalah foto Sungai Pakerisan yang dijepretnya hari ini. Foto itu terlihat agak seram dan bagian sungai terlihat gelap padahal waktu diambil hari masih siang. Batu-batu besar bergelimpangan begitu saja sepanjang sungai. Air sungai terpaksa mengalah, harus meliuk-liuk di antara batu-batu besar itu. Pohon beringin yang rimbun, berebut menjuntaikan sulurnya ke sungai membuat sungai semakin gelap, walaupun di siang hari. Belum lagi rumpun pohon pisang yang tumbuh di sepanjang sungai.

Lily menekan tombol zoom di keyboard komputernya. Sebuah objek menarik perhatian Lily. Ada foto seorang bocah berjongkok di pinggir sungai. Tangannya memegang benda kecil berbentuk memanjang. Rambutnya dikucir dua dan diikat tinggi. Lily kembali menekan tombol zoom di keyboard komputernya. Bocah itu ternyata seorang gadis kecil berkulit cokelat. Kacamata mungil bertengger di matanya. Lily tidak bisa melihat lebih jelas lagi karena bocah itu terlalu jauh dari fokus kameranya. Lily tidak menyadari telah mengambil gambar anak itu ketika ia menjepretkan kameranya. Siapakah bocah itu? Rasanya Lily pernah melihatnya. Namun, ia betul-betul lupa di mana.

oleh Ni Komang Ariani

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s