Sekuntum Bunga Marigold dari Chiang Mai

Mimpi yang berulang. Bunga Marigold. Candi-candi keemasan berubah warna menjadi merah. Patung setengah manusia dan setengah burung yang bisa bergerak-gerak seolah hidup. Memilin-milin dan tumpang tindih dalam mimpiku sepekan ini. Alur ceritanya semakin lama semakin ganjil. Bahkan kadang tanpa alur cerita sama sekali. Bunga marigold. Candi-candi berwarna kemerahan. Patung manusia berkepala burung. Hanya itu yang bisa aku ingat dengan jelas. Selain sebuah jejak perasaan yang mengganjal bersamanya. Perasaan sedih dan marah sekaligus. Seperti ada seseorang yang telah berbuat curang, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak berdaya. Kedua tanganku seperti dirantai, untuk menonton. Tanpa mampu berbuat apapun.

             Mungkinkah karena aku telah kelewat menjejali pikiranku dengan segala informasi tentang candi-candi di Thailand? Tentang Doi Suthep, Wat Phrasing, Wat Chedi Luang, Wat Umong, dan lain-lain. Mungkinkah kepalaku meledak karena timbunan informasi dan alam bawah sadar mengambil sebagian dari tugas itu. Atau aku sedang dituntun oleh sebuah firasat. Entahlah.

              Aku tidak punya pilihan. Hanya sebulan waktu yang diberikan kepadaku untuk menghapalkan semua informasi tentang tempat-tempat wisata di Chiang Mai. Bosku mengatakan, lafal bahasa Inggrisku lebih bagus  daripada kebanyakan orang Thailand. Para turis itu akan lebih mudah mengerti kalimat yang aku ucapkan. Masalahnya, aku teramat buta dengan sejarah candi-candi di Chiang Mai. Ini seperti sistem kebut semalam untuk menghadapi ujian.

              “Satu bulan lebih dari cukup untukmu. Apalagi kamu suka dengan candi dan segala hal yang berhubungan dengan sejarah.”

              “Betul, tapi sebulan sepertinya terlalu singkat.”

              “Jangan lupa, waktu tak akan menunggumu.” Ia menepuk bahuku ringan. “Sebulan atau tidak sama sekali.” Katanya tersenyum kecil. Khas orang Thai. Tidak ada kalimat meninggi atau bentakan. Orang Thai begitu mencintai harmoni, bahkan ketegasan pun disampaikan dengan senyuman.

              Aku tidak mempunyai pilihan lain. Sebulan atau tidak sama sekali. Selama bertahun-tahun, aku merasa tidak pernah menjadi pemilih yang mahir. Aku salah memilih jurusan kuliah. Salah memilih pekerjaan selama sepuluh tahun. Salah mengira idealismeku akan membuat keadaan membaik. Ketika semua terpuruk ke titik terendah, aku memutuskan pindah negara. Konyol.

Kenangan betapa aku adalah pemilih yang buruk mengedor-gedor ingatanku.  Aku masih ingat bagaimana aku memilih jawaban pada soal-soal pilihan ganda pada ujian sekolahku, pada UMPTN sampai dengan tes-tes TOEFL dan sejenisnya. Beberapa teman mengatakan, mereka akan menggunakan feeling untuk jawaban-jawaban sulit. Dan aku tak pernah menemukan rumus feeling itu. Aku selalu merasakan sensasi yang ganjil setiap kali dihadapkan pada sebuah pilihan. Semacam rasa gatal yang aneh. Titik kritis untuk tergelincir ke dalam tebing yang dalam dan curam. Atau tersedot ke dalam pusaran air yang mematikan.

Mungkin aku tak seharusnya memilih apapun. Aku seharusnya membiarkan diriku tidak mempunyai cukup pilihan, agar orang lain bisa membuat pilihan untukku.

              Untung ada Barry. Laki-laki itu mungkin sengaja dikirim Tuhan untukku. Setidaknya, anggaplah demikian adanya.

              “Nama saya Ava. Saya akan menemani anda hari ini.”

              “Terima kasih Ava. Nama saya Barry.”

              “Selamat pagi Barry, selamat datang di Chiang Mai. Apakah kamu sendirian?”

              Barry melongok ke sekelilingnya seolah mencari seseorang. “Sepertinya saya hanya sendiri. Tapi kamu bersama saya kan?” jawabnya setengah bercanda. Aku tersenyum kecil. Mungkin senyumanku yang paling lepas semenjak sebulan ini. Perpaduan Barat-Timur adalah cara terbaik untuk mengolah seseorang. Barry adalah perpaduan yang sempurna itu.

              “Apakah kamu akan mengikuti jalur yang saya anjurkan, atau kamu sudah mempunyai daftar tempat yang ingin kamu datangi?”

              “Aku ikuti jalur yang kamu siapkan saja.” Katanya lagi dengan senyum mengandung sengatan. Menyejukkan sekaligus menggelisahkan.

              Laki-laki blasteran Amerika-Vietnam itu telah menyelamatkan hari-hariku. Ia pula yang merelakkan syarafku, untuk yakin, untuk pertama kalinya, inilah pilihan yang baik untukku. Ia datang di hari ketiga aku memulai tugasku sebagai tour guide. Hari pertama dan kedua berjalan seperti neraka karena aku teramat tak percaya dengan kata-kata yang ke luar dari mulutku. Hari keempat segalanya menjadi lebih baik. Aku makin hapal sejarah setiap candi, dan makin percaya diri untuk menjelaskannya kepada turis yang harus aku temani. Aku mulai mencintai pekerjaan ini dan merasa pilihanku kali ini tidak buruk-buruk amat.

              Barry hanya tertawa keras ketika kuceritakan, aku baru sebulan belajar tentang Thailand.

              “Aku kaget. Kamu tampak sangat menguasai.”

Aku tergelak. “Kepada turis yang lain, saya akan mengaku sudah tinggal di Thailand selama tiga tahun.”

“Aku punya kontrak setahun untuk mengajar di Sekolah Internasional Thailand. Aku akan perlu bantuanmu untuk mencari tempat tinggal nyaman dan murah di sini.”“Aku pikir kamu hanya akan menggunakan kata nyaman, bukan murah.”

“Aku perlu menabung untuk keliling dunia. Termasuk mengunjungi Indonesia kelak.”

“Mengapa Indonesia?”

“Ada apa dengan Indonesia?”

“Pulang adalah kata yang aneh buatku sekarang.”

“Kamu ke sini bukan untuk lari kan?”

              “Aku tidak tahu apakah Indonesia memang rumahku. Rumah adalah tempat yang merangkulmu dalam kehangatan. Rumah adalah tempat yang menerimamu sebagai bagian sejati dari tempat itu. Setelah tiga puluh tahun menghabiskan waktu di Indonesia, aku masih merasa seperti orang asing.”

“Tampaknya ada sesuatu yang serius antara kamu dengan Indonesia?”

              Aku tersenyum jengah. “Maaf Barry, aku sudah menceritakan sesuatu yang terlalu serius di awal perkenalan kita.”

              “Tidak apa-apa Ava, aku selalu suka mengenal dan mengetahui sesuatu. Karena itulah aku ingin keliling dunia. Aku  yakin, kelak kamu akan menemukan alasan untuk pulang”

              Aku mengangkat bahu, sulit meyakini kata-kata Barry. Namun malam ini, kata-kata itu terus terngiang seperti mantra. Di tengah gigil demam di flatku di Chiang Mai. Rasa sakit meluas di setiap inci sendiku. Inilah saat aku hampir menyerah melupakan rumah. Masa kecil langsung hadir dan mengelus-ngelus ubun-ubunku. Kenangan tentang bagaimana Mama memelukku, untuk memindahkan panas tubuhku ke tubuhnya. Kenangan akan Papa yang membasuh kakiku dengan air bunga telang.

              Kenangan masa kecil itu berputar dengan cepat di kepalaku. Mama dan Papa mengantarku ke dokter setelah karena badanku panas makin tinggi. Dokter pun meresepkan beberapa butir parasetamol dan vitamin C. Mereka tak perlu membawaku ke dokter sebenarnya, karena obat turun panas akan meredakan panasnya setelah beberapa jam. Namun orang tua manapun akan selalu cemas pada keadaan anaknya.

              Pada saat seperti ini, aku berharap bisa kembali menciut menjadi seorang balita. Seorang anak yang masih merengek kepada orang tuanya. Aku ingin meringkuk di dalam pelukan Mama. Masa kecil mengencet hatiku dan kata pulang mengirisnya dengan ketajaman yang sama. Pulang maupun tak pulang menghadirkan rasa sakit yang sama.

              “Umat manusia di manapun pernah mengalami rasa sakit karena kebencian dan diskriminasi. Jika tidak di kampung halaman mereka, mungkin di negara lain tempat mereka berada. Politik warna kulit sudah ada sejak berabad-abad, namun belum akan berakhir di masa modern sekarang ini. Kita boleh marah dan ingin berbuat sesuatu. Namun ketika upaya itu gagal, kita tak harus menghukum diri sendiri atau menyembunyikan diri selamanya.”

              “Mudah bagimu, Barry. Dengan kulit putihmu dan ras kaukasiamu, kau tidak akan mengalami diskriminasi dimana pun.”

              “Dan orang dengan rasku bisa menjadi pihak yang mendiskriminasi? Hitler dan kebanggaan bangsa Arya-nya. Mana yang lebih buruk. Menjadi pihak yang disakiti atau menyakiti. Dalam hukum karma versi Gandhi, yang menyakitilah yang akan menerima hempasan energi buruk.”

              Waktu itu, aku hanya tercenung mendengar kata-katanya.

              “Menurutku, dunia boleh tak menerimamu. Seluruh dunia boleh membencimu. Namun pertama-pertama, apakah kau menerima dirimu sendiri. Sudahkah kau menerima dirimu secara penuh dan tanpa syarat? Yang aku tahu, kita tidak akan pernah bisa bersembunyi dari diri kita masing-masing. Dimana pun dan kapanpun. Kita boleh lari ke ujung dunia. Namun kita tak pernah bisa lari dari diri kita sendiri.”

              Malam itu, bersama gigil demam dan kesendirian yang menggigiti setiap sendi-sendi tubuhku, aku berpikir untuk belajar untuk menerima seluruh rasa sakit ini tanpa syarat. Menelan bulat-bulat kebencian yang pernah aku terima, seperti seekor hiu menelan mangsanya. Mengunyah perasaan diasingkan itu dengan gigi-gigiku yang berukuran raksasa. Membiarkannya membentuk adonan dengan rasa manis, rasa bahagia, dan rasa gembira yang pasti mampir pula dalam hidupku. Aku hanya baru menyadari mereka karib yang takkan terpisahkan.

ditulis oleh Ni Komang Ariani. Dimuat Kompas, 13 Januari 2019

Tinggalkan komentar