Ketika Waktu Melambat

Oleh Ni Komang Ariani

              Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun pagi ini aku terbangun dengan perasaan yang demikian ganjil. Waktu bergerak sangat lambat. Aku memulai pagi dengan menonton lima jenis acara TV dengan dengan perasaan separuh enggan. Ketika aku melirik jam dinding, aku kaget bukan main. Jarum jam hanya bergerak dua puluh menit. Aku pikir, setidaknya aku sudah membuang-buang waktu tiga jam untuk menonton TV dengan tidak jelas pagi ini. Apa yang terjadi?

              Aku bangkit dan melongok ke luar jendela. Apa yang terjadi di bawah aku pikir akan memberikan jawaban atas kebingungan aku. Alangkah kagetnya aku, kerumunan pasar rakyat di bawah sana sudah menjadi sekumpulan gerakan lambat. Aku memeriksa diri dan gerakanku sendiri, apakah aku pun telah menjelma gerakan lambat? Ah sungguh sulit memeriksa gerakanmu sendiri, karena aku melihat diriku bergerak dengan cara yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

              Aku tercenung. Setidaknya waktu telah melambat sepuluh kali lipat. Itu artinya umurku akan bertambah sepuluh kali lipat. Dan tiap harinya akan menjadi sepuluh kali lebih lama. Itu artinya tiap hari aku harus menjalani 240 jam di waktu terdahulu. Tambahkan itu dengan kesepian dan kesendirian yang memilin-milin seperti sarang laba-laba. Itu seperti dihukum di penjara sepuluh kali lipat lebih lama. Aku mungkin  akan mati lebih cepat daripada seharusnya.

              Telepon berdering. Menyentakkan aku dari perasaan mencekam ini. Aneh. Suara telepon pun terdengar melambat. Suaranya mirip radio yang kehabisan batere.

              “Halo…”

              “Kamu dimana? Kita berjanji ketemu di Kafe kan. Aku sudah ada di Central Festival.”

              Aku terkesiap. Aku benar-benar lupa bahwa hari ini aku punya janji dengan seorang teman. Aku melirik jam dinding. Waktu belum banyak bergerak sejak tadi aku bangkit dari tempat tidur. Masih jam 9 lebih 30 menit. Seharusnya sekarang sudah jam 12 siang. Mungkin lebih.

              “Aku masih di flat. Tiga puluh menit lagi aku sampai di sana.” Aku agak bingung. Berapa banyak tiga puluh menit? Apakah akan menjadi 300 menit. Yang jelas aku punya janji bertemu dengan Sarah jam 10 pagi di sana. Aku hanya berharap, keganjilan ini akan segera berhenti. Mungkin setelah aku mandi, waktu akan kembali seperti semula. Sebanyak mungkin aku ingin bermalas-malasan, adalah neraka jika waktu dunia menjadi sepuluh kali lipat lebih lambat.

**

              Aku berjalan dengan langkah sedang mendekati Sarah yang tampak serius dengan laptopnya. Wajahnya terlihat agak gusar. Aku melirik jam tangan. Jam sepuluh kurang lima menit. Sarah seharusnya tak gusar, karena aku memang belum terlambat.

              Ketika matanya menangkap kedatanganku, Sarah tersenyum kecil dengan agak dipaksakan. Terlihat sekali ia berusaha keras untuk menahan gusar.

              “Akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggu dua jam.”

              “Ah tidak mungkin. Jam aku hanya bergerak setengah jam.”

              Mata Sarah membeliak kaget. “Jammu mati mungkin. Yang jelas orang Thailand yang tadi bersamaku di sini sudah pergi, karena tidak sabar menunggumu.”

              Aku lebih kaget lagi. Aku melepaskan jam tangan dan menyerahkan kepada Sarah. “Lihatlah jamku. Masih berdetak. Memang lebih lambat, tapi masih berdetak.”

              Sarah pun tampak kebingungan. Ia meneliti jam di tangan aku dengan hati-hati.

              Refleks aku mengamati orang-orang yang berada di Kafe itu, dan mereka benar-benar bergerak lambat. Perutku menjadi mual. Sungguh memualkan melihat semua orang dalam gerakan lambat.

              Sarah masih tampak kebingungan. Ia membandingkan jam tanganku dengan ponselku.  Keduanya menunjuk penanda waktu yang sama. Jam 10 lebih 5 menit.

              Keringat dingin bercucuran di dahihu. Sarah memandangi aku dengan kaget.

              “Ada apa denganmu? Kamu sakit?”

              “Semua orang terlihat bergerak lambat di mataku.”

              “Gerakan lambat?” Sarah memandang sekeliling. “Tidak Ava, mereka bergerak normal. Ada apa denganmu?”

              “Semua orang bergerak slow motion.” Keringat dingin makin deras mengucur di leher, dada, punggung dan kaki.

              Sarah memegangi tanganku. Aku menekan kepala dan memejamkan mata.  “Lihat aku. Pandangi aku. Apakah aku juga bergerak lambat?”

              Aku membuka mata dan melihat Sarah juga bergerak lambat. Suara yang ke luar dari mulutnya juga melambat. Seperti orang yang memiliki keterbelakangan mental. Anehnya, suara Sarah pada saat kami bertemu tadi tidak seperti itu. Semua tampak normal dengan Sarah dan orang-orang lainnya.

              Sarah merangkul dan mendudukkan aku di sofa. Aku kembali memejamkan mata. Berusaha mengurangi pengar yang aku rasakan. “Kamu sakit, Ava. Kita harus ke rumah sakit. Aku sudah memesan taksi.”

              Aku hanya terdiam dalam rangkulan Sarah. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Satu-satunya yang membuat segala sesuatunya lebih mudah adalah dengan memejamkan mata. Kegelapan membuat kengerian itu berakhir sesaat.

**

              Entah berapa hari aku memejamkan mata. Penghitungan waktu menjadi tidak jelas dalam ingatanku. Aku juga memakai penutup telinga. Aku tidak sanggup mendengarkan suara-suara lambat dari siapapun. Dari suster, dari Sarah atau dari siapapun yang menengok aku. Mereka akan berkomunikasi dengan aku lewat secarik kertas dan tulisan. Dengan demikian aku tak perlu mengetahui kecepatan atau kelambatan yang terjadi.

              Dalam dua hari mereka memindahkan aku ke ruangan lain. Aku tidak lagi terhubung dengan infus dan mesin-mesin kesehatan lainnya. Mereka mengatakan, secara fisik aku sepenuhnya sehat. Lalu apa yang terjadi padaku atau pada dunia?

              Secarik kertas disodorkan ke hadapan aku. Sarah.

              “BUKA TUTUP TELINGAMU. INI SAATNYA KAMU BERANI MENDENGAR.”

              “APAKAH DUNIA MASIH MELAMBAT?”

              “JIKA MELAMBAT, TERIMALAH KELAMBATAN ITU. MUNGKIN KAMU MEMANG PERLU MELIHAT BANYAK HAL LAINNYA.”

              “AKU TAKUT.”

              “KAMU TIDAK MUNGKIN MENUTUP MATA DAN TELINGA SELAMANYA. ITU LEBIH MENYIKSA DARIPADA MELIHAT DUNIA YANG MELAMBAT.”

              “HIDUPKU ADALAH SIKSAAN. AKU TIDAK INGIN BERADA 10 KALI LEBIH LAMA DALAM SIKSAAN.”

              “MUNGKIN KAMU HARUS MEMBUAT HIDUPMU MENJADI INDAH. KAMU BISA KAN MEMBAYANGKAN BERADA 10 KALI LEBIH LAMA DALAM KEINDAHAN HIDUP.”

              “BAGAIMANA BISA? HIDUPKU TIDAK INDAH.”

              Sepertinya Sarah kehabisan kata-kata untuk meyakinkanku. Namun Sarah benar, mana mungkin aku selamanya tidur di kamar rumah sakit ini, dengan menutup mata dan telinga. Entah berapa lama ada lubang diam yang menganga diantara kami, yang jelas aku sedang berusaha mengumpulkan kekuatan untuk mengikuti saran Sarah. Hidup aku selama tiga puluh tahun ini terputar ulang. Masa kecil penuh dengan ledekan pada warna kulitku. Masa kuliah yang pahit. Orang tua melarangku mengambil jurusan seni. Masa kerja yang hambar, sekedar melanjutkan hidup. Ternyata hidup aku penuh dengan pilihan-pilihan yang salah. Sarah mencolek tangan aku. Pertanda ia mau memperlihatkan sebuah tulisan.

              “TERLEPAS DARI SEMUA  YANG BURUK. KAMU SELALU BERSIKAP BAIK DAN MENOLONG.”

              Aku memejamkan mata kembali dan merasakan air mataku mengalir dengan deras. Dunia telah menyakiti aku sedemikian rupa, namun aku belum menyakiti siapa-siapa. Mungkin aku telah menyakiti diri aku sendiri, dengan membiarkannya terjebak pada pilihan yang salah. Entah berapa lama aku membiarkan air mataku mengalir dengan deras. Mungkin aku harus menampungnya pada sebuah ember.

Air mataku habis  dan aku tidak punya hal apapun untuk dilakukan lagi. Tubuh aku bergetar hebat ketika aku membuka mata dan melepas tutup telinga.

              Sarah berdiri di hadapan aku. Juga Papa dan Mama. Teman-teman kerjaku. Mereka memandangi aku dengan mata basah.

              Mama memeluk aku. “Maafkan Mama ya..!”

              Mama masih terdengar berbicara dengan lambat. Masih sama seperti sebelumnya. “Kamu harus kuliah seni. Itulah bakatmu. Mama punya tabungan untukmu. Maafkan Mama sudah membuang waktunya empat tahun untuk jurusan yang tak kau sukai. Maafkan Mama telah menyiksa hidupmu.”

              Air mata itu mengalir kembali. Entahlah. Waktu masih slow motion. Melambat sepuluh kali lipat. Sebuah kenyataan yang harus aku terima. Seperti seseorang yang harus menerima dirinya menderita penyakit kanker stadium lanjut. Seperti seseorang yang harus menerima hukuman seumur hidup di penjara. Aku masih bisa berpergian. Aku bisa kuliah. Mendengar siapa saja dengan tempo yang lambat mungkin tidak buruk-buruk amat. Mungkin aku harus mulai melihat mereka seperti sekumpulan orang Solo yang tidak pernah tergesa dalam berbicara. Sedikit lebih lambat tapi tak apa.

Dimuat di Tribun Jabar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s