Kategori: Kegiatan

Menemui Thailand, Menemui Bali Menemui Marigold

Doi Suthep 114 Agustus 2018 senjakala telah tiba ketika saya menjejakkan kaki di Thailand untuk pertama kali. Juga negeri asing untuk pertama kalinya. Selama tiga belas tahun ini, saya lebih merasa sebagai seorang ibu rumah tangga, daripada pekerjaan-pekerjaan lainnya. Saya menulis cerita, dan sejak tiga tahun terakhir ini saya mengajar. Namun saya selalu merasa, pekerjaan utama saya adalah ibu rumah tangga.

Saya merasa terikat dengan rumah. Di rumah, tugas harian saya adalah memastikan makanan yang cukup untuk anak saya, memastikan ia mengerjakan PR, menyediakan perlengkapan sekolah yang ia perlukan dan memastikan ia tidur dengan baik di malam hari. Setiap tahun, perjalanan rutin saya adalah terbang ke Bali, untuk menemui keluarga saya di sana. Saya agak cemas dengan terbang, jadi saya agak menghindari untuk sering terbang. Kali ini sebuah program residensi memaksa saya mengatasi rasa takut saya.

Grand Palace 1Saya tiba sebuah hotel kecil di Bangkok sekitar jam setengah enam sore untuk transit semalam, sebelum melanjutkan perjalanan ke Chiang Mai. Saya menggunakan waktu transit saya di Bangkok untuk mengunjungi The Grand Palace. The Grand Palace merupakan istana raja Thailand yang sangat indah. Ada perpaduan warna yang sangat semarak dari emas, perak, merah, hitam, hijau, biru dengan ukir-ukiran yang sangat rumit. Menurut Asisten Profesor Arsitektur dari Universitas Silkaporn, Fakultas Arsitektur (dikutip dari buku A Geek in Thailand, karya Jody Houton), arsitektur Thailand dipengaruhi oleh dua peradaban besar, yaitu India dan China, juga beberapa tetangga terdekat.

Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan di City Art and Cultural Museum- Chiang Mai, di masa lalu, Thailand merupakan sebuah kerajaan yang bernama Siam. Kerajaan Siam sempat berperang dengan Birma untuk merebutkan Kerajaan Lanna (Chiang Mai). Kerajaan Lanna sempat dikuasai oleh Birma selama ratusan tahun. Oleh karena itu, arsitektur candi-candi di Thailand lumayan mirip dengan candi-candi yang ada di Birma.

Yang cukup menarik juga adalah beberapa candi kuno di Thailand mengingatkan saya pada arsitektur bangunan di jaman Majapahit, dan juga arsitektur Pura-pura di Bali. Sebagaimana yang tampak pada Wat Chedi Luang dan Wat Umong. Di Wat Chedi Luang, saya sempat bercakap-cakap dengan para biksu Buddha melalui program The Monk Chat Program. Program ini bertujuan untuk saling mengenalkan kebudayaan dari daerah asal dan saling berlatih menggunakan bahasa Inggris. Cukup menyenangkan juga bisa mengenal dan bercakap-cakap dengan para biksu itu, walaupun dalam perbincangan itu mereka masih terlihat malu-malu. Banyak pula hal yang sulit saling kami mengerti karena dialek bahasa Inggris kami masing-masing.

Di Chiang Mai, saya menetap di dekat kawasan Old City, yang merupakan bekas ibukota kerajaan Lanna di masa lalu. Chiang Mai adalah kota kecil yang ramah. Harga makanan, hostel dan transportasi di Chiang Mai juga relatif murah. Untuk pergi di sekitar kota, kita bisa menggunakan Tuk Tuk, Song thew, dan Grab.

Grabcar ada dalam jumlah banyak, jadi begitu memesan grab melalui aplikasi, mobil ini akan tiba menjemput kita dalam waktu 2-3 menit. Harganya juga relatif murah dan drivernya juga sangat ramah. Tidak yang kebut-kebutan seperti driver mobil online di Indonesia. Tak salah bila Thailand dijuluki sebagai The Land of Smile. Setiap orang yang kau mintai bantuan, akan menjawab dengan senyuman atau suara yang bersahabat. Sekalipun mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka akan tetap tersenyum. Ketika saya hendak menemui seorang kawan Indonesia yang bekerja di Maejo University, salah seorang mahasiswa dengan suka rela mengantar saya ke Faculty of Liberal Arts, yang lumayan jauh jaraknya. Bahasa barangkali menghalangi, namun kesediaan untuk membantu tak terhalang kendala bahasa.

Menemui Thailand dan Menemui Bali
Kuil Mini 1.jpgBegitu menginjakkan kaki di Thailand, saya cukup takjub juga mengamati praktek keagamaan di Thailand, cukup mirip dengan praktek keagamaan di Bali. Menurut penulis buku “A Geek in Thailand”, Jody Houton, jumlah pemeluk agama Buddha di Thailand mencapai 95 persen. Sementara Bali, merupakan sebuah pulau dengan mayoritas penduduk beragama Hindu. Orang Thailand beragama melalui kuil-kuil mini yang mereka tempat di setiap tempat aktivitas mereka. Di rumah, di toko, di mobil, di pasar, di mall, dll. Di kuil mini biasanya ada patung Buddha, ada bunga, ada tempat dupa, ada polesan warna emas atau tidak.  Di Bali kami menyebutnya Sanggah atau Plangkiran. Sanggah adalah kuil mini di setiap rumah. Sementara Plangkiran adalah kuil yang lebih mini lagi, bisa ditemui di sebuah kamar, satu booth di pasar, satu stand pameran, dll.

Di lihat sekilas, Chiang Mai bukanlah kota yang megah. Mirip dengan kota-kota kecil di Jawa. Dibandingkan dengan Bali, Bali terasa lebih mewah. Namun Chiang Mai mempunyai semua fasilitas yang dibutuhkan agar turis merasa betah. Harga makanan, transportasi, laundry, hostel yang relatif terjangkau.

Chiang Mai mengingatkan saya pada Bali sepuluh tahun yang lalu. Mudah sekali menemui touris berambut pirang atau merah dimana pun. Di Seven Eleven atau di Mall. Waktu kecil, saya ingat bagaimana Ibu saya harus berkomunikasi dengan kalkulator atau bahasa isyarat dengan para turis saat berjualan di toko miliknya. Sekarang ini, pemandangan serupa tak saya temui lagi. Turis yang datang ke Bali sudah tak sebanyak dulu atau mereka sudah disambut langsung paket-paket tur yang disediakan para pelaku wisata. Saya sendiri tak terlalu mengikuti perkembangan pariwisata Bali. Pendapat saya, pariwisata Bali lebih mahal dari Chiang Mai. Turis yang datang ke Bali, harus merogoh kocek dalam-dalam. Sementara pariwisata Chiang Mai lebih terjangkau. Sebagai turis, saya betah mengabiskan waktu dalam waktu lama di Chiang Mai. Thailand merupakan salah satu negara dengan kunjungan wisata terbesar di dunia. Barangkali itulah resepnya, pariwisata di Thailand cukup ramah di kantong orang kebanyakan.

Marigold, dari Meksiko, India, Bali sampai Thailand
Marigold 3Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Thailand, ada satu jenis bunga yang menarik perhatian saya, yaitu bunga Marigold. Di Bali bunga ini diberi nama bunga Gumitir. Hampir di setiap candi, saya menemui keberadaan bunga Marigold ini. Kemudian ingatan saya melayang film favorit saya, film animasi Coco, yang menceritakan tentang tradisi kematian di Meksiko. Bunga marigold menjadi bunga utama pada De Muertos, atau Hari Orang Mati di Meksiko. Melalui film Coco pula ditampilkan bahwa jembatan yang menghubungkan Tanah Orang Mati dengan Tanah Orang Hidup terbuat bunga Marigold. Di India, bunga Marigold dirangkai menjadi kalung bagi patung-patung Dewa.

Di Bali, bunga marigold digunakan hampir di semua sarana upacara. Bunga Marigold bisa ditemukan di Canangsari dan Banten yang digunakan di Bali.
Bunga Marigold berasal dari Meksiko dan Amerika Selatan dan masih satu keluarga dengan Daisy. Bunganya berwarna kuning dan oranye cerah. Marigold tumbuh berupa semak dengan ketinggan antara 15 cm sampai 90 cm. Terdapat tiga jenis Marigold, yaitu French Marigold, African Marigold, dan Triploid Marigold. (disarikan dari kompas.com). Bunga marigold konon cukup banyak manfaatnya di bidang kesehatan, seperti mengeluarkan racun dari tubuh, mengobati masalah pencernaan, melawan radikal bebas, mengobati demam dan sakit tenggorokan (merdeka.com). Bunga Marigold, dengan wangi khasnya itu telah mengingatkan saya pada rumah dan juga mengembarakan imajinasi saya ke berbagai tempat di dunia.

 

Celebrating Indonesia’s literary fiction tradition

IMG_20160724_142840Sebastian Partogi/The Jakarta Post

As part of its annual literary fiction program, Indonesia’s leading daily newspaper Kompas has launched its annual best short story anthology, consisting of work printed by the paper throughout 2015. The event was held in conjunction with an awards ceremony for its best fiction writers.

Many writers flocked to Bentara Budaya Jakarta on May 31. As well as those whose works were selected for the anthology, Education and Culture Minister Anies Baswedan, pianist and composer Ananda Sukarlan, painter and scholar Mudji Sutrisno, Nano and Ratna Riantiarno of Teater Koma were also seen among the crowd.

Kompas has a short story page that runs every Sunday that publishes the works of numerous literary writers across the nation. The tradition started in 1972 to give space for writing outside the journalistic discipline, according to Kompas chief editor Budiman Tanuredjo.

Education and Culture Minister Anies Baswedan (left) shakes hands with Indonesian poet, prose writer and playwright Putu Wijaya (right) as others look on.(Kompas/Lucky Pransiska)

In his opening speech, minister Anies Baswedan said that it was the duty of literary writers to spur the growth and development of the Indonesian language by exploring and opening themselves up to the possibilities of its usage.

According to Anies, the Indonesian language had around 23,000 dictionary entries in 1943, a number that has expanded to 94,000 in 2015. The expansion is relatively small when compared to the English language, which has around a million dictionary entries and expands at a rate of 8,500 entries per year.

“This is because English writers open themselves up to new words. Indonesia has [more than] 700 local languages, which should serve as a good reserve to enrich our language,” he said.

He added that the ministry was considering the idea of collaborating with short story writers to support its policy of a mandatory 15-minute reading period of non-school textbook materials by students, in order to promote reading habits among Indonesians.

(Read also: 12 Indonesian books you should add to your reading list)

This policy was one of several implemented in response to a recent study conducted by John Miller, president of Central Connecticut State University in New Britain, which put Indonesia in the second-lowest position of 61 measurable countries for its “literate behavior characteristics”. The study observes various factors, from numbers of libraries and newspapers to years of schooling and availability of computers.

The human face of Indonesia

This year’s best short story anthology was given the title “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” (“This Kid Wants to Urinate all over Jakarta?”).

The book contains the works of 23 writers spanning four generations of the Indonesian literary tradition, namely Agus Noor, Ahmad Tohari, AK Basuki, Anggun Prameswari, Budi Darma, Dewi Ria Utari, Djenar Maesa Ayu, Faisal Oddang, Gde Aryantha Soethama, Guntur Alam, Gus TF Sakai, Indra Tranggono, Joko Pinurbo, Jujur Prananto, Martin Aleida, Miranda Seftiana, Ni Komang Ariani, Oka Rusmini, Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Tawakal M Iqbal, Triyanto Triwikromo and Warih Wisatsana.

The anthology is named after the year’s best short story, written by veteran literary writer Ahmad Tohari, famous for his Ronggeng Dukuh Paruk trilogy (translated by the Lontar foundation with the title of The Dancer). Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? depicts the life of a poor family living beside the train tracks in the Senen area of Central Jakarta in meticulous detail, which can be seen in the writer’s description of them as a raw instant noodle-eating family of three.

The story is centered on the behavior of the young boy in the family, who constantly urinates in random places with his father who always reminds him to be careful so as not to let the urine splash onto his sleeping mother’s body or a pile of clothes.

“I was a bit surprised when my story was chosen as the best one, because the story is a bit vulgar. The father tells the boy that he can urinate anywhere in Jakarta, but not near his mother. This story reflects the anger that I and other artists have when we see what happens in Jakarta, especially along its rivers,” Ahmad said upon receiving the award.

Effix Mulyadi, a member of judges who curated the anthology says in his preface that the story describes how the poor are greatly marginalized in the city.

Meanwhile, Balinese journalist and writer Gde Aryantha Soethama received the lifetime achievement award for his consistency in literary writing.

Born in Bali, he has written numerous journalistic pieces, non-fiction as well as fiction books in the last thirty years. His works are rich with references to the Balinese culture and way of life. His anthology Mandi Api (Immersing Oneself in Fire) won the Khatulistiwa Literary Award in 2006.

“Literary writers are people who sacrifice themselves in order to walk a difficult path, which has become even more difficult these days thanks to so many digital distractions. They, however, persist in enlightening society,” Kompas deputy chief editor Rikard Bangun said.

Fresh themes

This year’s anthology contains a number of new topics rarely seen in previous Kompas best-of collections. Among the most prominent themes are those relating to the lives of lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT) people and the persecution of religious minorities in Indonesia.

Guntur Alam, a writer from Palembang, South Sumatra, for example, contributes the story Upacara Hoe (The Hoe Ceremony), about gay and lesbian siblings who find a new life after their father passes away.

“I want to write about this because the topic is quite popular. Meanwhile, in the Palembang area there are lots of Indonesian-Chinese communities and they have a unique style of funeral procession. So I wanted to incorporate that element,” said Guntur, who has written short stories for various Indonesian media outlets since 2010 and published an anthology last year.

Meanwhile, a newcomer to Indonesia’s literary scene, 19-year-old Miranda Seftiana also writes about various aspects of the lives of LGBT people in her short story.

“I am a psychology student and homosexuality has already been dropped from the classification of mental illness in our diagnostic book (the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). It was also inspired by a number of salons in my hometown of South Kalimantan,” Miranda, who started writing short stories at the age of 13, said.

Meanwhile, Faisal Oddang’s story tells of how followers of the Tolotang local religion in South Sulawesi are forced to convert to one of the religions recognized by the nation, and are witch-hunted and killed by the military along the way.

At the end of the ceremony, writers were challenged to spontaneously compose a short story. A laptop was set down on the stage, and a number of writers like Agus Noor, Dewi Ria Utari and Jujur Prananto were invited to write opening and closing sentences. The ‘frame’ of the story will be distributed via email to all 23 writers to complete and the collaborative effort will be published in conjunction with the paper’s anniversary on June 28.

The audience’s spirits were still high at around 10:30 p.m. and they broke into laughter at one of the spontaneously written fragments about an old writer who received a letter from the “Culture Minister” telling him that he has won a Rp 100 million prize, only to be told later by the same minister that it was probably ‘just the writer’s dream’.

Anies was challenged to give a title to the story. Initially, he titled it Lagi, Surat Menteri Beri Harapan Palsu (Again, the Minister’s Letter Gives False Hope), drawing laughter from the audience, but then changed it to Sang Menteri dan Mimpi Penulis Tua (The Minister and The Old Writer’s Dream). (asw)

New Voices from Indonesia

New Voices from Indonesia

Read My World invited two South East Asian guest curators to select the writers and poets from their region that tell stories beyond the issues of the day. Authors that, right now in the Caribbean, matter, in line with the curators’ vision of literature and the festival’s penchant for fresh and engaged voices. Columnist translator Kadek Krishna Adidharma Indonesia ) selected nine authors from Indonesia, of whom the first four will join us at the festival in October: Lanjutkan membaca “New Voices from Indonesia”

10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa Ke 14

10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa Ke 14

Setelah direkap, dalam urutan acak, berikut adalah karya-karya terpilih 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke 14

A. Kategori Prosa
1. Afrizal Malna, Kepada Apakah
2. Iksaka Banu, Semua untuk Hindia
3. Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas
4. Ayu Utami, Maya
5. Triyanto Tiwikromo, Surga Sungsang
6. Norman Pasaribu, Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu
7. Rio Johan, Aksara Amananunna
8. Zaky Yamani, Bandar
9. Isbedy Setiawan ZS, Perempuan di Rumah Panggung
10. Remy Sylado, Malaikat Lereng Tidar

B. Kategori Puisi
1. Ook Nugroho, Tanda-tanda yang Bimbang
2. Acep Zamzam Noor, Bagian dari Kegembiraan
3. Hasta Indirayana, Piknik yang Menyenangkan
4. A. Muttaqin, Tetralogi Kerucut
5. Oka Rusmini, Saiban
6. Ahda Imran, Rusa Berbulu Merah
7. Made Adnyana Ole, Dongeng dari Utara
8. Adimas Immanuel, Pelesir Mimpi
9. Tia Setiadi, Tangan yang Lain
10. Mario F. Lawi, Ekaristi

Khatulistiwa Literary Award

Setelah direkap, dalam urutan acak, berikut adalah karya-karya terpilih 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke 14

A. Kategori Prosa
1. Afrizal Malna, Kepada Apakah
2. Iksaka Banu, Semua untuk Hindia
3. Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas
4. Ayu Utami, Maya
5. Triyanto Tiwikromo, Surga Sungsang
6. Norman Pasaribu, Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu
7. Rio Johan, Aksara Amananunna
8. Zaky Yamani, Bandar
9. Isbedy Setiawan ZS, Perempuan di Rumah Panggung
10. Remy Sylado, Malaikat Lereng Tidar
B. Kategori Puisi
1. Ook Nugroho, Tanda-tanda yang Bimbang
2. Acep Zamzam Noor, Bagian dari Kegembiraan
3. Hasta Indirayana, Piknik yang Menyenangkan
4. A. Muttaqin, Tetralogi Kerucut
5. Oka Rusmini, Saiban
6. Ahda Imran, Rusa Berbulu Merah
7. Made Adnyana Ole, Dongeng dari Utara
8. Adimas Immanuel, Pelesir Mimpi
9. Tia Setiadi, Tangan yang Lain
10. Mario F. Lawi, Ekaristi


Lihat pos aslinya