oleh Ni Komang Ariani
Begitu kurang lebih judul film Jackie Chan, ketika ia mengalami amnesia, dan tidak bisa mengingat siapa dirinya. Tanda tanya besar yang sama yang ada di kepala saya saat ini, bukan karena saya sedang mengalami amnesia, namun karena obrolan dengan seorang teman dari Bandung.
Dalam suatu pesan singkatnya, ia menanyakan apakah saya telah menjadi ‘seorang Mbak’ (panggilan khas orang Jawa) alih-alih ‘seorang Mbok’ (panggilan khas orang Bali). Sebagai orang Bali yang menghabiskan lebih dari setengah umur saya di pulau Jawa, saya ingin membedah siapa saya sesungguhnya saat ini?
Saya setidaknya telah menjelajahi tiga bahasa (Bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), dan tiga budaya (Budaya Bali, Budaya Jawa dan Budaya Sunda). Secara fisik, saya sudah menumpahkan darah saya di Surabaya selama 4,5 tahun, Jakarta selama 2,5 tahun dan di Tangerang Selatan selama lebih dari 15 tahun.
Beberapa orang yang bertemu dengan saya, mengatakan dialek saya, tidak lagi seperti orang Bali. Namun saya tahu beberapa karakter fonologi saya, masih menunjukkan ke-Balian. Saya tidak bisa membedakan pengucapan huruf “p”, “f” dan “v”, dan saya juga kesulitan membedakan “s” dengan “z”.
Saya sendiri memanggil kakak ipar saya dengan panggilan ‘Mbok Yun’ sebuah panggilan yang lazim untuk perempuan yang lebih tua. Ketika beberapa orang luar Bali, memanggil saya dengan “Mbok”, saya agak merasa ganjil. Barangkali karena pengucapannya menjadi jatuh seperti “Mbok” yang merupakan panggilan Ibu untuk orang Jawa.
Saya merasa lebih terbiasa dengan panggilan “Mbak”, barangkali karena “Mbak” dan “Mas” adalah panggilan yang umum di kalangan jurnalis, pekerjaan yang saya tekuni selama beberapa tahun. Untuk memanggil atasan yang jauh lebih tua pun, panggilan “Mbak” dan “Mas” menjadi sesuatu yang lazim. Namun hal itu menjadi ganjil ketika saya dipertemukan dengan orang Bali yang juga merupakan jurnalis.
Salah satu kenalan saya adalah jurnalis Kompas Putu Fajar Arcana. Orang-orang di kantornya akan memanggil beliau dengan “Mas Can” termasuk suami saya yang merupakan koleganya di Kompas. Namun bagi saya panggilan itu terasa ganjil. Bagaimana mungkin sesama orang Bali memanggil koleganya dengan “Mas”.
Sebaliknya saya pun tidak cukup panggilan akrab dengan panggilan “Bli”. Saya tidak memanggil kakak kandung saya dengan “Bli”, namun hanya memanggil namanya saja. Seingat saya, saya tak memanggil sembarang orang dengan panggilan “Bli”. Saya hanya memanggil “Bli” kepada orang yang saya kenal saja, hanya sedikit lebih tua, namun bukan yang jauh lebih tua dan dihormati.
Kompleksitas panggilan ini, mengorek lebih dalam tentang apa yang terjadi pada diri saya sendiri ketika menjelajahi berbagai macam budaya. Saya menghabiskan masa pertama hidup saya di desa Singapadu, Sukawati, Gianyar, Bali. Yang saya ingat tentang kampung halaman saya, bahwa di sana saya tak banyak merasakan konflik kasta sebagaimana yang digambarkan novel-novel Oka Rusmini.
Yang lebih banyak saya rasakan adalah keharusan berbahasa “halus” kepada golongan yang lebih tinggi yang disebut sebagai “anak agung”, walaupun status sosial ini kemudian bersitegang dengan status sosial lainnya seperti status sosial ekonomi dan pekerjaan. Tidak jarang orang memiliki status kasta lebih tinggi menjadi bawahan dari kalangan status kasta yang lebih rendah.
Pada masa itu, saya sudah banyak membaca buku-buku agama, salah satunya buku karya Ketut Wiana berjudul Kasta dalam Hindu: Kesalahpahaman Berabad-abad.
Buku itu menyatakan kasta adalah sistem yang diciptakan oleh pemerintah Portugis, yang merupakan kesalahpahaman dari sistem warna dari India, yang lebih merupakan suatu sistem pembagian kerja, daripada sebuah identitas yang diturunkan.
Pernikahan kemudian membuat saya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Suami saya adalah orang Indonesia keturunan Tionghoa, yang besar di Cianjur dan menamatkan kuliahnya di Universitas Gadjah Mada. Suami saya fasih berbahasa Sunda dan Jawa, namun sama sekali tidak bisa berbahasa Mandarin.
Selama Setelah 18 tahun bahasa Indonesia lebih terasa menjadi bahasa pertama saya, dibandingkan bahasa Bali. Keganjilan baru yang saya rasakan kemudian adalah, jika ada orang Bali menggunakan “bahasa Bali halus” kepada saya, saya akan cenderung menjawabnya dengan bahasa Indonesia.
Barangkali karena bahasa itu, merupakan bahasa yang terasa mudah terucap di lidah. Jika saya renungkan kemudian, saya memilih menggunakan bahasa Indonesia dengan siapa saja, karena bahasa Indonesia menawarkan persamaan derajat.
Selama 23 tahun masa penjelajahan bahasa dan budaya itu, saya juga merasa bertransformasi menjadi orang yang berbeda. Saya di Bali adalah seorang anak yang pendiam. Jarang bicara. Saya lebih sering bermain dengan anjing saya di sawah daripada berinteraksi dengan orang lain.
Ketika orang lain mengajak saya bicara, Ibu atau Bapak saya, yang biasanya mewakili saya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Entah mengapa saya begitu sulit mengekpresikan diri dalam bahasa Bali. Adakah hal-hal dalam bahasa Bali yang membuat saya bungkam?
Sebuah penelitian Sosiolinguistik yang panjang barangkali bisa menjawab pertanyaan ini. Namun yang jelas, “kebicaraan” saya membaik pada saat saya menghabiskan waktu 4,5 tahun di Surabaya. Saya bicara dan ngobrol dengan teman-teman seangkatan dengan lebih baik.
Mungkinkah bahasa Indonesia memberi saya keleluasaan dalam mengekspresikan diri?
Artikel ini sebelumnya dimuat di https://sekolahvirtualperempuan.org/2021/08/21/who-am-i/?fbclid=IwAR24E6HME7jbe1Y9eFFgAYc7S7zTX0Pf-_2wTuqLQSV16Fr3R4-ypaBN78A
Penulis: Ni Komang Ariani merupakan penulis 7 buku fiksi dan dosen di Universitas Pamulang. Tiga kali masuk Cerpen Pilihan Kompas dan dua kali masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award. Novel terbarunya berjudul “Telikung” dapat dibeli di toko-toko buku online. Saat ini sedang melanjutkan S3 di program Ilmu Sastra Universitas Padjajaran.