Dia hanya memberikan saya waktu sepekan untuk berfikir. Kata-katanya selama sepekan ini begitu manis dan jernih, pertanda itu diucapkan oleh orang yang berhati bening.
Seperti dia. Laki-laki yang yang bagi saya tidak mempunyai cela sedikitpun. Ia bicara tentang keputusan yang terpaksa dilakukannya. Ia bicara tentang perempuan muda yang sedang dirundung kesusahan. Mengandung hasil anak hasil perkosaan, dengan ayah seorang berandal yang sudah masuk penjara.
Dengan berlinang air mata ia mengisahkan cerita itu. Membuat saya makin mabuk pada pesonanya. Berfikir telah menikahi seorang malaikat. Ia memegang erat tangan saya, dan menghapus air mata yang mengalir di pipi. Saya terbenam dalam perasaan yang campur-aduk. Saya makin menginginkan laki-laki itu.
Saya harus melakukannya karena itu sudah menjadi tugas kita sebagai umat manusia. Kita tidak mungkin membiarkannya terlunta-lunta tanpa pertolongan. Saya sangat sedih harus melakukannya. Ini akan menjadi berat untukmu, karena kau tidak lagi menjadi satu-satunya.
Mulut saya terkunci. Betapa inginnya saya menjadi seorang pahlawan, yang rela berkorban sepertinya. Yang membuat dia terlihat makin gagah dan bercahaya. Membuat saya ingin merangkumnya dalam pelukan. Membuat saya semakin ingin memilikinya seorang diri. Hanya seorang diri.
Namun katanya saya tidak boleh egois. Hanya mementingkan perasaan sendiri. Mau berkorban untuk orang lain. Seperti dia. Samakah kami?
Bagaimana cara membagi suamimu dengan perempuan lain? Telah ditemukankah caranya oleh seseorang? Karena saya ingin datang padanya untuk belajar.
Saya sudah berulangkali menasihati diri sendiri untuk menjadi sabar, pasrah dan lemah-lembut, saya tak pernah sungguh tahu caranya. Saya hanya menyimpan kengerian yang menjelma mimpi-mimpi aneh selama sepekan ini.
Sudah seminggu saya bermimpi melihat seekor gurita raksasa sedang menunggu di ambang pintu rumah kami. Gurita itu merentangkan tentakel-tentakelnya sehingga tampak jelas di jendela rumah kami. Di waktu-waktu tertentu, si gurita mengibaskan tentakelnya ke jendela dan menimbulkan suara ketukan. Semakin lama ketukan itu semakin sering. Setiap saat gurita itu bisa menghancurkan pintu dan mengambil alih rumah kami. Mimpi yang ganjil. Namun saya tidak pernah menceritakannya kepada siapapun.
Saya pernah mencoba menceritakan hal-hal seperti ini, dan teman-teman saya mengatakan saya cengeng, egois, manja dan lain sebagainya.
Pikirkanlah dulu. Saya tidak akan memaksamu. Pikirkanlah semalam suntuk. Saya menunggumu besok pagi. Karena waktu yang kita miliki tidak banyak. Lusa mungkin terlambat.
Siapakah saya yang harus membuat keputusan yang begitu pelik? Jika saya mengatakan tidak, saya membayangkan berpasang-pasang mata yang mengatakan saya sebagai perempuan yang tidak mempunyai belas kasihan.
Jika saya mengatakan iya, tentakel-tentakel raksasa itu akan memecah jendela-jendela kaca di rumah kami, memasuki rumah dan duduk di sofa TV yang biasa saya duduki.
Saya tidak mengerti ada orang-orang yang begitu mudah membuat keputusan seperti ini. Mereka yang terlihat anggun dengan senyumnya yang manis dan menenangkan. Mengapa saya tidak bisa meniru mereka sedikitpun?
Saya membayangkan perempuan muda itu di kepala saya. Dengan wajah ranum tak berdosanya? Dengan senyum polosnya yang memantik belas kasihan. Sanggupkah saya melihat perempuan muda itu masuk ke kamar yang sama dengannya. Laki-laki milik saya. Rasa sakit yang sama. Terus berulang sejak saya mengenalnya. Setiap iris rasa bahagia seolah selalu berteman dengan rasa sakit. Mereka teman abadi yang tidak bisa dipisahkan.
Pikiran saya terus berputar-putar, seakan tidak ada batasan untuk perputarannya. Detak jam di jam dua belas malam menyentakkan saya. Subuh akan segera datang, dan saya belum mengambil keputusan.
Dan saya membayangkan kengerian yang lain. Dia akan meninggalkan saya demi menepati janjinya pada perempuan muda itu. Demi hasratnya yang besar untuk berkorban. Karena ia terlalu banyak mendengar cerita-cerita kepahlawanan. Jika begitu, saya hanya bisa menangisi kepergiannya. Merindukan bau kulitnya tiap malam tiba.
Saya terdesak oleh kebuntuan.
Saya menyalakan komputer, ingin mendapat inspirasi seperti yang sudah-sudah untuk tulisan saya. Saya ketik nama perempuan muda itu. Saya cari gambar-gambarnya di internet. Saya mengagumi wajahnya yang bening, dengan rambut panjang yang berkilauan. Perempuan itu begitu indah. Pantas saja membuat laki-laki manapun terpesona. Saya hanya bisa menangkap kegembiraan pada wajah perempuan itu.
Perempuan yang sedang mekar dan menunjukkan ranumnya. Ia pantas menjadi keponakan saya, karena ia begitu muda, dan juga tidak berdosa.
Saya akan berdosa jika tidak menerimanya menjadi teman hidup kami. Perempuan itu bisa menjadi adik saya. Begitu cerita-cerita perempuan anggun yang dapat membagi suaminya. Wajah tidak berdosa itu tidak mungkin mengancam. Kami bisa menjadi keluarga yang rukun.
Saya telah bulat membuat membuat keputusan untuk menerimanya ketika sebuah gambar membuat saya sesak nafas. Perempuan muda itu memeluknya dalam kehangatan. Wajah perempuan muda itu mekar oleh kegembiraan. Dia tersenyum dengan kilauan yang lebih cemerlang daripada matahari. Gambar serupa bermunculan dan memenuhi layar komputer di hadapan saya. Di gambar terakhir, keduanyanya berkecup mesra. Perut saya bergolak mual.
Saya memejamkan mata pada berdetik-detik yang lewat. Menghirup angin yang lewat di hadapan saya. Mengingat bertahun-tahun yang saya lewati bersama dia. Mengingat kalimat demi kalimat yang pernah ia ucapkan. Helai demi helai membuka di hadapan saya. Mengingat rasa sakit yang sama. Bahagia yang berhimpitan dengan rasa sakit. Kadang-kadang terasa ganjil tapi entah mengapa saya tidak pernah memikirkannya.
Di awal pertemuan kami, lima belas tahun yang lalu, ia selalu mengatakan kau adalah matahari yang menyinari hidupku. Di waktu lain ia juga mengatakan tanpamu, hidupku akan menjadi sekumpulan senja.
Setelah itu, entah mengapa saya tidak pernah lagi bertanya atau sekedar bertanya-tanya dalam hati tentangnya. Saya percaya ia adalah laki-laki tanpa cela.
Pun ketika pada malam-malam tertentu, ia tidak pulang ke rumah dengan alasan yang terasa ganjil. Tak pernah terbetik kecurigaan. Seharusnya saya bertanya dan menatap matanya. Kemana kau pergi? Apakah kau bersama perempuan lain?
Kokok pertama si jago menyentakkan saya dari lamunan. Seluruh hidup saya selama lima belas tahun sudah saya putar ulang dalam semalam. Saya memasukkan baju-baju tanpa suara. Memilih barang-barang terpenting yang saya miliki. Saya meliriknya sekilas yang masih lelap dalam tidurnya. Wajahnya menyunggingkan senyum tipis. Saya tak lagi berselera padanya.
Seharusnya ketika ia datang dengan kisah palsunya itu saya memberikan sebuah syarat padanya. Sudakkah kau temukan juga untukku seorang laki-laki muda dan menderita karena ditinggalkan oleh istrinya dengan semena-mena. Laki-laki muda dengan otot yang liat dan senyum yang semanis gula. Kau memintaku untuk menyelamatkannya dan membawanya ke rumah kami.
Tepat ketika selubung gelap berganti dengan terang, saya sudah berdiri di depan rumah, menunggu tukang ojek yang sudah saya pesan. Melintas dalam ingatan saya, kata-kata seorang kawan, bersikaplah awas jika kau hidup dengan seseorang yang kau anggap tidak mempunyai cela sedikitpun. Karena ada dua pilihan yang tersedia, ia bukan manusia atau kau tidak mengenalnya sama sekali.
Cerpen oleh Ni Komang Ariani, dimuat di Media Indonesia, 14 September 2014
Salam kenal. Terima kasih sarannya.
Salam kenal
Sama2. Makasih.
Wooow.. well said.
Terima kasih Ibu sudah berbagi cerita yang indah ini (walaupun isinya tidak indah di mata seorang istri, tapi penuturannya itu lho 👍🏻👍🏻👍🏻)
trm kasih