Tumpukan cucian piring sudah menunggu. Aku bisa menciumnya dari jarak beberapa langkah. Bahkan mungkin aku sudah merasakannya, jauh sebelum memasuki pintu rumah. Seperti apa baunya? Sulit untuk dijelaskan. Aku mencium sayur basi, ikan basi, ayam basi, kecap basi. Bercampur-campur sampai sulit dikenali lagi.
Pada saat itu terngiang-ngiang kalimat bibiku, Me Man Rindi. Perempuan tinggi besar yang menghabiskan hidupnya bergaul dengan buah kelapa.
“Aku benci bau cucian piring. Aku tidak mau menghabiskan hidupku mencuci tumpukan piring.”
Apakah bibiku akan menertawai hidupku sekarang, bila ia tahu, hidupku tiada lain adalah menunggu dari satu cucian piring ke cucian piring lainnya. Apakah ia akan mengejekku, bila ia tahu betapa aku merasa pengar dengan baunya, yang seperti menempel di bajuku, kemana pun aku pergi. Hey, kapan terakhir aku pergi dari rumah ini?
Dia, selalu mengatakan dunia luar sana, adalah dunia yang liar, tempat bagi semua niat jahat berdesingan seperti peluru, menyambar siapapun yang tidak mempunyai pelindung. Laki-laki itu selalu melihatku dengan rasa iba, tubuhku hanya tulang, terbungkus daging yang tipis. Tenagaku yang tidak seberapa takkan kuasa menahan angin kencang di luar sana. Begitu penuturannya, setiap kali aku mengutarakan keinginanku untuk menghirup udara segar di luar sana. Di rumah adalah tempat yang paling aman bagimu, untuk berlindung dari para pemangsa.
Rumah ini seindah rumah-rumah yang kulihat di TV, namun entah mengapa, begitu pintu rumah terbuka, segala macam barang tampak bertebaran di segala penjuru. Seolah mereka mempunyai kaki dan bisa pergi ke tempat-tempat yang mereka sukai. Keset yang miring, lantai yang lengket, tali horden yang terlepas sebelah, bantal sofa yang tak rata semua sudutnya. Benda-benda ini selalu menyambutku dengan cara yang sama. Semakin aku rapikan, semakin banyak yang memanggil-manggil untuk dibenahi.
Terngiang kembali kata-kata Me Man Rindi. “Aku tidak mau menjadi keset dimana semua daki diusapkan”
Kalimat itu makin sering terngiang setiap kali aku mengusapkan kaki di keset depan rumah. Kata-katanya yang lain pun kembali terngiang. Seolah hidupku dihantam kutukan karena tidak mendengarkan perempuan itu.
“Kamu harus keras dan teguh seperti pohon kelapa itu. Terus menjulang ke langit, tanpa memerdulikan teriakan ribut di sekelilingnya.” Katanya berulangkali, seolah berupaya menyimpankan mantra itu di kepalaku.
“Tapi Me Man, tubuhku kecil, aku tidak bisa menjadi seperti Me Man.”
“Tubuhmu boleh kecil, tapi pikiranmu yang harus besar. Jauh lebih besar daripada tubuhmu.”
“Tapi Me Man aku ingin berkeliling melihat tempat tempat-tempat terindah bersama laki-laki yang menggenggam tanganku.”
Me Man hanya mencibir mendengar kata-kataku yang puitis.
“Carilah… carilah sampai kau menemukannya. Jika tak kau temukan juga, jangan sungkan untuk pulang ke kebun kelapa ini.”
Aku seperti anak baginya yang tidak pernah menikah. Tak seorang pun dari kami yang mampu mengikuti jalan hidupnya. Me Man Rindi selalu berjalan dengan langkah-langkah berat yang seolah meretakkan tanah. Ia seperti ingin menyaingi kegagahan pohon-pohon kelapa yang menjulang di kebunnya. Kulitnya makin menghitam terpanggang matahari. Badannya makin membesar dan berotot. Perawakannya mirip Barong Landung.
Teriakannnya garang ketika ia sedang memerintahkan para laki-laki yang menjadi buruh panjatnya. Sepuluh laki-laki besar itu, tak satupun ada yang berani menyela, ketika Me Man sedang berbicara. Mereka hanya mengangguk-angguk patuh mengikuti perintah Me Man. Semua pekerjaan selesai dengan cepat dan rapi. Me Man memandangnya dengan senyum puas. Perempuan itu kini berhasil mengemas minyak kelapa merknya sendiri, dan menjualnya ke banyak supermarket besar di Bali. Nama Me Man harum seperti aroma minyak kelapa yang dibuatnya.
Perempuan itu berharap, aku akan mengikuti jejaknya. Tumbuh dengan liat, tumbuh makin tinggi ke angkasa dan membuat jerih bulan dan matahari. Jika ada perempuan yang mampu melakukannya, pasti bibikulah orangnya. Perempuan itu bisa menakuti siapa saja, karena ia tidak memiliki rasa takut.
Namun perempuan itu tak mengetahui kegemaranku yang lain, saat aku tak mengunjungi kebun kelapanya. Aku sering duduk berlama-lama di atas dipan bambu di warung nasi jenggo Meme. Mobil-mobil mengkilat keluaran terbaru dengan aneka rupa bersliweran sejak pagi hingga petang di depan hidungku. Desa kami adalah jalan pintas menuju Ubud, tempat persinggahan turis-turis dari Denpasar. Aku mencatat jenis-jenis mobil itu di buku lusuh milikku. Meme tidak pernah memperhatikan, ia hanya berhenti sejenak untuk menyuruhku apa saja. Menyapu, mebanten atau menanak nasi.
Setelah terlampau lelah mencatat mobil-mobil yang bersliweran, aku sering jatuh tertidur dengan kepala menyandar ke tiang warung. Seorang pangeran tampan berjalan mendekatiku. Ia turun dari sebuah mobil putih besar yang berkilauan tertempa cahaya matahari. Laki-laki itu melambaikan tangan, mengembangkan senyum lebar, kemudian menggamit tanganku yang masih terpana. Perlahan ia menuntunku menuju mobil itu, dan membuka pintu untukku. Pupil mataku membesar dan dadaku mengembang seperti balon. Meme sering menertawaiku, bila kuceritakan tentang mimpiku yang berulang-ulang. Ia baru berhenti menertawakan, ketika seorang laki-laki yang kasat mata menyapaku di dipan bambu itu. Memerhatikan tingkahku pada saat mebanten dan mengajakku bicara tentang apa saja.
Dia, laki-laki yang memandangku dengan rasa terpesona itu, telah membuatku membuat keputusan kilat. Menerima lamarannya, walau kami baru saling mengenal selama enam bulan. Laki-laki itu datang dengan mobil berwarna cokelat hangat yang teramat aku sukai. Ia membukakakn pintu ketika pertama kali mengajakku berkencan. Sampai hari ini, aku tidak pernah bisa mengerti, bagaimana laki-laki semacam itu dapat menyukai perempuan semacam aku. Aku menyukaimu dengan kebaya kuning dan kain hijau yang kenakan. Aku menyukaimu yang bermandikan aroma dupa, katanya.
Me Man Rindi memandangku kecewa waktu itu.
“Aku berharap, kau menjadi satu-satunya perempuan yang tidak menyerah pada ketakutanmu. Namun sebaliknya kaulah yang menyerah paling cepat. Siapa laki-laki itu, De? Kau bahkan tidak mengenalnya. Apa yang membuatmu memilihnya?”
“Aku hanya bosan dengan kampung ini Me Man. Kampung ini terlalu sunyi dan usang. Aku hanya ingin berada di sebuah tempat yang sama seperti yang kulihat di TV. Elegan dan berkelas, Me Man ”
Me Man memandangku dengan mata terluka. Ia bahkan menolak menghadiri upacara pernikahanku. Para kerabat dan saudara membisikiku untuk tidak terlalu menghiraukannya. Mereka berguncing kalau Me Man Rindi kurang waras pikirannya. Rindi perempuan yang kesepian. Karena itu dia menjadi galak seperti anjing gila. Aku ingin membantah perkataan itu. Aku ingin mengatakan Me Man Rindi perempuan yang baik hati dan penyayang. Perempuan yang berani melukis sendiri garis di telapak tangannya.
Dia, laki-laki itu memang telah membuatku tinggal di sebuah rumah yang elegan dan berkelas. Rumah yang teramat luas, sehingga membuatku pegal menyusuri tiap bagiannya dengan kain pel. Rumah yang sunyi dari pagi sampai tengah malam. Rumah yang berdinding-dinding tinggi dan tak seorang pun tetangga suka berkunjung.
Bila aku terbangun di pagi hari, ia telah lenyap dari sisi pembaringan. Kami tak banyak bicara, selain beberapa kalimat basa-basi. Betul kata Me Man Rindi, aku telah menyerahkan hidupku kepada seseorang yang amat asing.
Hidungku kembali diserbu bau cucian piring yang seolah membentakku untuk segera menyelesaikannya. Hanya sesaat aku sempat menarik nafas lega, ketika cucian piring telah digantikan aroma lemon, benda-benda lain di rumah ini mulai berteriak dengan ribut. Horden yang masih belum dibuka, bantal sofa yang miring, keset yang terlipat, debu yang menempel di layar TV, kabel sambung yang tergeletak melintang. Semua benda-benda itu memanggilku dengan tidak sabar untuk segera membantu mereka.
Dadaku sesak. Ekor mataku menangkap gerakan yang amat halus dari plafon rumah. Ia bergerak semakin mendekat. Perutku mual. Dinding-dinding rumah pun makin merapat. Aku tersengal-sengal. Aku berharap seseorang, entah siapa menarikku dari rumah yang menghimpit dadaku dengan perasaan-perasaan yang mengacaukan. Atau mungkin seekor burung rajawali menerbangkanku melambung ke angkasa. Dia, dia tak mungkin memercayaiku. Dia lebih sering menertawakankan cerita-ceritaku. Laki-laki selalu menganggap aku adalah seorang perempuan dengan pikiran-pikiran konyol. Siapakah aku baginya? Pertanyaan ini makin sering menikam, dan aku tidak bisa menjawabnya. Sungguh, aku teramat kangen pada Me Man Rindi, dan kebun kelapanya. Kangen pada otot-otot besar di lengannya. Juga suaranya yang besar seperti suara raksasa. Oh Me Man…. apakah… apakah… aku sudah membiarkan diriku menjadi keset, tempat semua daki diusapkan?
Arti Kata-kata
Me Man = Bibi
Barong Landung= Figur yang dipuja di Bali, berwujud boneka tinggi besar
Nasi jenggo= Nasi bungkus khas Bali yang berukuran kecil.
Meme = Ibu
Mebanten = menghaturkan sesajen.
oleh Ni Komang Ariani
dimuat di Media Indonesia, 14 Januari 2017.
Saya ingin berpikir seperti ada menulis. Selebihnya saya speechless karena kekaguman saya terhadap anda semakin bertambah.