Penulis: nikomangariani

Pohon Kelapa di Kebun Bibi

cerpen-pohon-kelapa-di-kebun-bibiTumpukan cucian piring sudah menunggu. Aku bisa menciumnya dari jarak beberapa langkah. Bahkan mungkin aku sudah merasakannya, jauh sebelum memasuki pintu rumah. Seperti apa baunya? Sulit untuk dijelaskan. Aku mencium sayur basi, ikan basi, ayam basi,  kecap basi. Bercampur-campur sampai sulit dikenali lagi.

Pada saat itu terngiang-ngiang kalimat bibiku, Me Man Rindi. Perempuan tinggi besar yang menghabiskan hidupnya bergaul dengan buah kelapa.

“Aku benci bau cucian piring. Aku tidak mau menghabiskan hidupku mencuci tumpukan piring.”

Apakah bibiku akan menertawai hidupku sekarang, bila ia tahu, hidupku tiada lain adalah menunggu dari satu cucian piring ke cucian piring lainnya. Apakah ia akan mengejekku, bila ia tahu betapa aku merasa pengar dengan baunya, yang seperti menempel di bajuku, kemana pun aku pergi. Hey, kapan terakhir aku pergi dari rumah ini?

Dia, selalu mengatakan dunia luar sana, adalah dunia yang liar, tempat bagi semua niat jahat berdesingan seperti peluru, menyambar siapapun yang tidak mempunyai pelindung. Laki-laki itu selalu melihatku dengan rasa iba, tubuhku hanya tulang, terbungkus daging yang tipis. Tenagaku yang tidak seberapa takkan kuasa menahan angin kencang di luar sana. Begitu penuturannya, setiap kali aku mengutarakan keinginanku untuk menghirup udara segar di luar sana. Di rumah adalah tempat yang paling aman bagimu, untuk berlindung dari para pemangsa.

Rumah ini seindah rumah-rumah yang kulihat di TV, namun entah mengapa, begitu pintu rumah terbuka, segala macam barang tampak bertebaran di segala penjuru. Seolah mereka mempunyai kaki dan bisa pergi ke tempat-tempat yang mereka sukai. Keset yang miring, lantai yang lengket, tali horden yang terlepas sebelah, bantal sofa yang tak rata semua sudutnya. Benda-benda ini selalu menyambutku dengan cara yang sama. Semakin aku rapikan, semakin banyak yang memanggil-manggil untuk dibenahi.

Terngiang kembali kata-kata Me Man Rindi. “Aku tidak mau menjadi keset dimana semua daki diusapkan”

Kalimat itu makin sering terngiang setiap kali aku mengusapkan kaki di keset depan rumah. Kata-katanya yang lain pun kembali terngiang. Seolah hidupku dihantam kutukan karena tidak mendengarkan perempuan itu.

Kamu harus keras dan teguh seperti pohon kelapa itu. Terus menjulang ke langit, tanpa memerdulikan teriakan ribut di sekelilingnya.” Katanya berulangkali, seolah berupaya menyimpankan mantra itu di kepalaku.

Tapi Me Man, tubuhku kecil, aku tidak bisa menjadi seperti Me Man.”

Tubuhmu boleh kecil, tapi pikiranmu yang harus besar. Jauh lebih besar daripada tubuhmu.”

“Tapi Me Man aku ingin berkeliling melihat tempat tempat-tempat terindah bersama laki-laki yang menggenggam tanganku.”

Me Man hanya mencibir mendengar kata-kataku yang puitis.

“Carilah… carilah sampai kau menemukannya. Jika tak kau temukan juga, jangan sungkan untuk pulang ke kebun kelapa ini.”

Aku seperti anak baginya yang tidak pernah menikah. Tak seorang pun dari kami yang mampu mengikuti jalan hidupnya. Me Man Rindi selalu berjalan dengan langkah-langkah berat yang seolah meretakkan tanah.  Ia seperti ingin menyaingi kegagahan pohon-pohon kelapa yang menjulang di kebunnya. Kulitnya makin menghitam terpanggang matahari. Badannya makin membesar dan berotot. Perawakannya mirip Barong Landung.

Teriakannnya garang ketika ia sedang memerintahkan para laki-laki yang menjadi buruh panjatnya. Sepuluh laki-laki besar itu, tak satupun ada yang berani menyela, ketika Me Man sedang berbicara. Mereka hanya mengangguk-angguk patuh mengikuti perintah Me Man. Semua pekerjaan selesai dengan cepat dan rapi. Me Man memandangnya dengan senyum puas. Perempuan itu kini berhasil mengemas minyak kelapa merknya sendiri, dan menjualnya ke banyak supermarket besar di Bali. Nama Me Man harum seperti aroma minyak kelapa yang dibuatnya.

Perempuan itu berharap, aku akan mengikuti jejaknya. Tumbuh dengan liat, tumbuh makin tinggi ke angkasa dan membuat jerih bulan dan matahari. Jika ada perempuan yang mampu melakukannya, pasti bibikulah orangnya. Perempuan itu bisa menakuti siapa saja, karena ia tidak memiliki rasa takut.

Namun perempuan itu tak mengetahui kegemaranku yang lain, saat aku tak mengunjungi kebun kelapanya. Aku sering duduk berlama-lama di atas dipan bambu di warung nasi jenggo Meme. Mobil-mobil mengkilat keluaran terbaru dengan aneka rupa bersliweran sejak pagi hingga petang di depan hidungku. Desa kami adalah jalan pintas menuju Ubud, tempat persinggahan turis-turis dari Denpasar. Aku mencatat jenis-jenis mobil itu di buku lusuh milikku. Meme tidak pernah memperhatikan, ia hanya berhenti sejenak untuk menyuruhku apa saja. Menyapu, mebanten atau menanak nasi.

Setelah terlampau lelah mencatat mobil-mobil yang bersliweran, aku sering jatuh tertidur dengan kepala menyandar ke tiang warung. Seorang pangeran tampan berjalan mendekatiku. Ia turun dari sebuah mobil putih besar yang berkilauan tertempa cahaya matahari. Laki-laki itu melambaikan tangan, mengembangkan senyum lebar, kemudian menggamit tanganku yang masih terpana. Perlahan ia menuntunku menuju mobil itu, dan membuka pintu untukku. Pupil mataku membesar dan dadaku mengembang seperti balon. Meme sering menertawaiku, bila kuceritakan tentang mimpiku yang berulang-ulang. Ia baru berhenti menertawakan, ketika seorang laki-laki yang kasat mata menyapaku di dipan bambu itu. Memerhatikan tingkahku pada saat mebanten dan mengajakku bicara tentang apa saja.

Dia, laki-laki yang memandangku dengan rasa terpesona itu, telah membuatku membuat keputusan kilat. Menerima lamarannya, walau kami baru saling mengenal selama enam bulan. Laki-laki itu datang dengan mobil berwarna cokelat hangat yang teramat aku sukai. Ia membukakakn pintu ketika pertama kali mengajakku berkencan. Sampai hari ini, aku tidak pernah bisa mengerti, bagaimana laki-laki semacam itu dapat menyukai perempuan semacam aku. Aku menyukaimu dengan kebaya kuning dan kain hijau yang kenakan. Aku menyukaimu yang bermandikan aroma dupa, katanya.

Me Man Rindi memandangku kecewa waktu itu.

“Aku berharap, kau menjadi satu-satunya perempuan yang tidak menyerah pada ketakutanmu. Namun sebaliknya kaulah yang menyerah paling cepat. Siapa laki-laki itu, De? Kau bahkan tidak mengenalnya. Apa yang membuatmu memilihnya?”

“Aku hanya bosan dengan kampung ini Me Man. Kampung ini terlalu sunyi dan usang. Aku hanya ingin berada di sebuah tempat yang sama seperti yang kulihat di TV. Elegan dan berkelas, Me Man ”

Me Man memandangku dengan mata terluka. Ia bahkan menolak menghadiri upacara pernikahanku. Para kerabat dan saudara membisikiku untuk tidak terlalu menghiraukannya.  Mereka berguncing kalau Me Man Rindi kurang waras pikirannya. Rindi perempuan yang kesepian. Karena itu dia menjadi galak seperti anjing gila. Aku ingin membantah perkataan itu. Aku ingin mengatakan Me Man Rindi perempuan yang baik hati dan  penyayang. Perempuan yang berani melukis sendiri garis di telapak tangannya.

Dia, laki-laki itu memang telah membuatku tinggal di sebuah rumah yang elegan dan berkelas. Rumah yang teramat luas, sehingga membuatku pegal menyusuri tiap bagiannya dengan kain pel. Rumah yang sunyi dari pagi sampai tengah malam. Rumah yang berdinding-dinding tinggi dan tak seorang pun tetangga suka berkunjung.

Bila aku terbangun di pagi hari, ia telah lenyap dari sisi pembaringan. Kami tak banyak bicara, selain beberapa kalimat basa-basi. Betul kata Me Man Rindi, aku telah menyerahkan hidupku kepada seseorang yang amat asing.

Hidungku kembali diserbu bau cucian piring yang seolah membentakku untuk segera menyelesaikannya. Hanya sesaat aku sempat menarik nafas lega,  ketika cucian piring telah digantikan aroma lemon, benda-benda lain di rumah ini mulai berteriak dengan ribut. Horden yang masih belum dibuka, bantal sofa yang miring, keset yang terlipat, debu yang menempel di layar TV, kabel sambung yang tergeletak melintang. Semua benda-benda itu memanggilku dengan tidak sabar untuk segera membantu mereka.

Dadaku sesak. Ekor mataku menangkap gerakan yang amat halus dari plafon rumah. Ia bergerak semakin mendekat. Perutku mual. Dinding-dinding rumah pun makin merapat. Aku tersengal-sengal. Aku berharap seseorang, entah siapa menarikku dari rumah yang menghimpit dadaku dengan perasaan-perasaan yang mengacaukan. Atau mungkin seekor burung rajawali menerbangkanku melambung ke angkasa. Dia, dia tak mungkin memercayaiku. Dia lebih sering menertawakankan cerita-ceritaku. Laki-laki selalu menganggap aku adalah seorang perempuan dengan pikiran-pikiran konyol. Siapakah aku baginya? Pertanyaan ini makin sering menikam, dan aku tidak bisa menjawabnya. Sungguh, aku teramat kangen pada Me Man Rindi, dan kebun kelapanya. Kangen pada otot-otot besar di lengannya. Juga suaranya yang besar seperti suara raksasa. Oh Me Man…. apakah… apakah… aku sudah membiarkan diriku menjadi keset, tempat semua daki diusapkan?

 

Arti Kata-kata

Me Man = Bibi

Barong Landung= Figur yang dipuja di Bali, berwujud boneka tinggi besar

Nasi jenggo= Nasi bungkus khas Bali yang berukuran kecil.

Meme = Ibu

Mebanten = menghaturkan sesajen.

 oleh Ni Komang Ariani

dimuat di Media Indonesia, 14 Januari 2017.

 

Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua

ilustrasi-cerpen-aniesTohari, pengarang tua itu, gemetar memandangi surat yang baru saja diterimanya. Dari Menteri Pendidikan Indonesia. Di penghujung usia senjanya sebagai pengarang, baru kali ia merasa diperhatikan. Ia akan mendapatkan hadiah Rp 100 juta. Astagfirullah, itu uang yang tak pernah dibayangkan, bila mengingat selama ini ia hanya mendapat puluhan ribu dari honor tulisannya. Memang sesekali ia mendapat uang sekian juta bila bila  diundang di acara pemerintah, tapi itu pun sudah dipotong sana-sini, dan ia hanya menandatangani kuitansi kosong. Sekarang Rp 100 juta! Tumben pemerintah memberi hadiah sebanyak itu.

Masih dalam kekagetan yang teramat sangat, Tohari mulai merancang-rancang akan dikemanakan uang sebanyak itu. Ia sedang berpikir untuk menggunakan sedikit uang tersebut untuk belanja online? Siapa tahu? Baru minggu lalu, cucunya memperlihatkan Instagram belanja online yang penuh dengan barang-barang baru menggiurkan mata yang tak pernah dilihatnya.

“Mbah,” kata sang cucu. “Beli ini saja.”

“Apa itu?”

Smartphone model terbaru.”

“Ahhh enggak mau. Handphone  yang Mbah beli sepuluh tahun lalu masih bisa dipakai, kenapa harus beli yang baru.”

Tetapi tiba-tiba, ponsel Tohari berbunyi, langsung yang berbicara Pak Menteri. “Maaf Pak Tohari, hadiahnya dicabut. Tolong, ini hanya mimpi saya. Lebih baik besok malam Pak Tohari mimpi saja sendiri. Hadiahnya mungkin Rp 1 miliar.”

“Tapi Pak, kalau Rp 1 miliar, saya enggak mau mimpi sendiri. Lebih baik saya mengajak teman-teman saya bermimpi bersama. Banyak tuh yang pengen bisa mimpi dapat Rp 1 miliar. Di antaranya teman-teman penulis cerpen tua seperti saya ini. Putu Wijaya, Budi Darma, atau Seno Gumira Ajidarma. Eh tapi Seno sering kali terlalu banyak improvisasi kalau diajak bermimpi. Lebih baik lagi saya mengajak teman-teman penulis muda untuk bermimpi bersama. Mereka kreatif-kreatif lho Pak kalau diajak mimpi. Kayak itu tuh, Ni Komang Ariani, Iqbal, Guntur, mereka pinter-pinter lho kalau ngimpi.”

“Silakan saja Pak Tohari. Mau mimpi sendiri atau ngajak teman-teman. Yang penting Bapak sudah cukup jelas kan bahwa hadiahnya sudah dicabut? Coba susun dulu proposal mimpi Rp 1 miliar Pak Tohari, nanti ajukan saja ke saya. Nanti saya kasih kontak nomornya Dirjen saya, si Hilmar itu. Biar nanti dia baca dulu proposal Rp 1 miliar Pak Tohari,” ujar Pak Menteri.

Tohari terdiam sejenak. Ia mencoba menafsir makna di balik perkataan Pak Menteri yang sebenarnya sudah sangat terang benderang itu.

“Maaf Pak Anies, apakah saya boleh bertanya?”

“Silakan, Pak Tohari.”

“Apakah Bapak bisa mengendalikan mimpi?”

“Mengapa tidak?”

“Bapak pernah mengendalikan mimpi?”

“Berkali-kali.”

“Wah, sungguh elok. Jadi bisa ya, saya meminta diri saya mimpi mendapat Rp 100 juta lalu saya minta sembilan pengarang lain mimpi mendapat Rp 100 juta? Bisa jugakah dalam mimpi itu saya meminta sembilan pengarang lain memberikan uang mereka untuk saya? Lalu, jika sudah terkumpul, bisakah saya meminta diri saya sendiri memberikan uang itu untuk guru-guru miskin di seluruh Tanah Air?”

“Bisa. Mengapa tidak?”

“Kok Bapak begitu yakin?”

“Saya telah melakukan berkali-kali, Pak Tohari.”

Tohari takjub.

“Boleh bertanya lagi Pak Menteri?”

“Silakan, Pak Tohari.”

“Bagaimana cara mengendalikan mimpi itu?”

“Pak Tohari harus tidur tepat pukul 00.13.”

Tohari tak bertanya mengapa harus pukul 00.13. Ia justru menanyakan posisi tidur.

“Kepala harus mengarah ke selatan atau timur?”

“Ke utara, Pak Tohari. Sebelum tidur, bersama sembilan pengarang, Pak Tohari harus membayangkan mendapat uang masing-masing Rp 100 juta bukan dari saya, melainkan dari Pak Jokowi. Pak Jokowi pasti tergerak memberikan uang itu. Hanya,  Pak Tohari dan sembilan pengarang, tidak boleh ragu-ragu dalam bermimpi. Paham, Pak Tohari?”

“Paham, Pak Menteri.”

Tohari memang paham pada setiap perkataan Pak Menteri. Akan tetapi, begitu suara Pak Menteri dari seberang menghilang, ia sedikit meragukan metode pengendalian mimpi yang tak masuk akal.

“Mimpi selalu tidak masuk akal,” Tohari membatin, “Karena itu, haruskah aku mempercayai metode mimpi Pak Menteri?”

Sunyi. Tohari merasa tak bisa menjawab pertanyaan itu sendiri. Karena itulah, ia perlu menelepon beberapa pengarang.

Mula-mula ia menelepon Triyanto Triwikromo.

“Apakah Anda pernah mengendalikan mimpi?”

“Belum  pernah, Pak Tohari, tetapi saya pernah mengendalikan cerita. Cerita apa pun bisa saya kendalikan sesuai keinginan suksma.”

Ia juga bertanya pada Seno. Seno menggeleng. “Saya hanya mahir mengendalikan senja, Pak Tohari. Sesekali saya mengendalikan Tuhan untuk memenuhi doa-doa saya.”

Ia juga bertanya pada Joko Pinurbo. Joko Pinurbo tertawa, “Saya hanya bisa mengendalikan sarung dan celana saya. Celana dan sarung saya jika tidak dikendalikan suka berkibar ke mana-mana, Pak Tohari.”

Tak putus asa, Tohari bertanya kepada pengarang lain mengenai teknik mengendalikan mimpi. Kali ini kepada Budi Darma. Budi Darma juga tertawa, “Satu-satunya sosok yang pernah saya kendalikan bernama Olenka. Justru Olenkalah yang bisa mengendalikan mimpi. Coba nanti saya tanyakan kepada dia.”

“Jangan-jangan saya juga bisa betanya kepada Srintil atau Rasus, ya Pak Budi?”

“Mungkin saja, Mas Tohari. Mungkin saja. Sampean tahu di mana harus menghubungi Rasus atau Srintil bukan?”

Tohari mengangguk namun tidak segera melakukan saran Budi Darma. Tohari kemudian berjalan ke arah jendela. Ia menatap gerimis.

“Masih gerimis air. Bukan gerimis yang telah jadi logam,” Tohari bergumam sambil mengingat Goenawan Mohamad, penyair yang menulis “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”.

“Masih gerimis yang biasa-biasa saja. Bukan sesuatu yang lebih tabah dari hujan bulan Juni,” Tohari mendesis sambi mengingat Sapardi Djoko Damono, penyair “Hujan Bulan Juni”.

Tohari terus menikmati gerimis itu. Ia tidak ingin menghubungi Srintil. Ia tidak ingin menghubungi Rasus. Ia justru menelepon Putu Wijaya.

“Bli Putu, apakah Anda bisa mengendalikan mimpi?”

“Bisa. Apa pun bisa saya kendalikan.”

“Bisa bermimpi bertemu dengan Pak Menteri Pendidikan lalu mengajak beliau menemui Pak Jokowi?”

“Bisa.”

“Bisa meminta Pak Jokowi memberi uang kepada 10 pengarang masing-masing Rp 100 juta?”

“Bisa.”

“Bisa meminta para pengarang memberikan uang itu kepada guru-guru miskin?”

“Bisa.”

“Caranya?”

Tak ada jawaban dari seberang.

“Caranya?”

Masih tak ada jawaban.

“Bli Putu? Ada apa? Bli Putu masih mendengarkan suara saya?”

Tetap tak ada jawaban.

“Halo, Bli? Masih mendengar suara saya?”

“Ya, masih Pak Tohari. Caranya kita harus puasa 40 hari dulu di gua yang paling gelap. Setelah itu puasa 40 hari lagi di gedung paling tinggi. Terakhir kita harus puasa 40 hari lagi di tepi sungai paling kotor.”

“Kok terlalu sulit. Ada cara yang gampang?”

“Ya, memang sulit, Pak Tohari, tetapi saya jamin kita akan bisa mengendalikan mimpi kalau sudah bisa melampaui semua itu.”

“Bli Putu mendapatkan metode itu dari mana?”

“Ya, dari mimpi. Pak Tohari. Sekarang tidur dan bermimpilah agar Pak Tohari mendapatkan metode mengendalikan mimpi! Saya doakan Pak Tohari berhasil. Pak Tohari orang baik. Alam pasti menolong Anda.”

Tohari terdiam. Tohari pun bersiap-siap tidur. Di sana ia bertemu dengan semua orang yang dipikirkannya. Pak Menteri yang senyumnya semanis gula. Pak Jokowi yang matanya memantulkan sungai yang berwarna kecoklatan. Dan semua pengarang-pengarang yang ditemuinya itu. Mereka seperti menghadiri sebuah pesta dengan sajian makanan yang serba lezat. Mulai dari kambing guling, sate maranggi, ayam panggang, sampai dengan kue tart kecil rasa cokelat dan karamel.

Tohari tidak ingat kapan pesta itu berakhir, yang jelas ia terbangun dengan badan pegal luar biasa. Seperti sehabis mencangkul sawah sehari penuh. Pintu kamar terbuka sebagian, sementara Tohari hanya tergeletak tanpa daya. Tak kuasa menggerakkan tubuhnya untuk bangkit.

Di luar sana, halaman rumahnya terlihat jorok dengan tumpukan daun berserakan, yang tak sempat dibersihkan. Namun kali ini daun-daun berserakan itu terlihat berbeda. Warnanya merah terang dan ada dua foto dua orang yang sangat dikenalnya. Dua laki-laki tampan mengenakan kopiah, yang ia kenal betul, namun ujung lidahnya gagal menyebutkan nama kedua orang itu.

Istrinya sudah berulang kali ngomel.

“Tuh lihat rumah tanpa aku. Dari dulu kamu terlalu sibuk berpesta. Sibuk tertawa-tawa seperti pejabat-pejabat itu. Sibuk mencecap kue tart rasa karamel. Lupa pada bibirmu yang hitam dan keriput itu.”

Tohari mengerang keras setelah kembali gagal bangkit dari  tempat tidur. Daun-daun gugur makin menumpuk, seperti membentuk gundukan di hadapannya.

Tohari memejamkan mata mengingat-ingat ucapan Pak Menteri. Sedikit-sedikit mulai dipercayainya ucapan laki-laki itu. Karena ia pernah mengetahui seseorang melakukan hal yang sama persis. Teman dari temannya. Namanya Leonardo. Laki-laki itu berwajah kaukasia. Hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti daging durian yang sudah dikupas.

Leonardo menjalankan sebuah misi rahasia dengan bermimpi kolektif bersama teman-temannya. Apa misi rahasianya? Jelas Tohari tidak tahu. Namanya juga rahasia. Ia tersenyum-senyum sendiri. Tohari mengernyit kesakitan, merasakan tarikan tajam di kedua pipinya yang mengeras.

Bukan saja badannya yang makin mengeras, ternyata urat-urat wajahnya seperti sudah disemen. Tohari memejamkan mata untuk memusatkan pikiran. Agar ia bisa memahami apa yang sungguh terjadi,  ketika sekonyong-konyong, seorang laki-laki, yang ia ketahui bernama Eden berbisik di telinganya. “Aku bisa menolongmu. Aku bisa mengajarimu melakukan apa yang dilakukan oleh Leonardo dan kawan-kawannya.” Suaranya serak dan dalam seperti suara Hannibal Lecter

Tohari tercengang. “Aku bisa mengajak sembilan orang lainnya untuk bermimpi secara bersamaan?” Eden mengangguk yakin. “Namun kesempatanmu hanya sekali. Dalam kesempatanmu yang sekali itu, ada dua peluang. Peluang berhasil lima puluh persen, peluang gagal lima puluh persen. Jika berhasil, mimpi 1 milliarmu akan terkabul, jika gagal, kesepuluh dari kalian akan terjebak di dalam dunia karangan kalian masing-masing.” Katanya dengan suara yang makin serak seperti tercekik.

“Hah…! Apa maksudnya?”

“Ingat-ingatlah cerpen yang pernah kamu tulis. Seingatku terakhir kau menulis tentang seorang anak yang ingin mengencingi Jakarta. Nah, jika gagal, kau akan hidup di dunia anak  anak yang kau kisahkan itu.”

Tohari merinding. Deru kereta api yang menggetarkan dan suara klaksonnya yang menjerit-jerit, menyerbu ke gendang telinganya. Bau makanan sisa bercampur bau bacin menggulung seperti tornado di depan cuping hidungnya. Kawanan lalat meriung riang  merayakan kecepatan tubuhnya yang menumpang bokong kereta yang beroma tak sedap.  Debu dan sampah-sampah kecil beterbangan membuat kelilipan.

Anginnya berpusing ke segala penjuru dan menerbangkan gundukan daun berwarna merah terang di halaman. Dua laki-laki berkopiah dan berwajah tampan tersenyum dengan manisnya. Sekilas senyumnya mirip senyum Pak Menteri. Di titik batas alam sadarnya, Tohari melenguh kecil. Aku mau tersenyum dan tertawa. Langit menggelap dan titik embun membasahi kening Tohari yang keriput. Laki-laki itu terkekeh-kekeh geli.

Catatan:

Cerita ini adalah karya kolaboratif dari Agus Noor, Jujur Prananto, Dewi Ria Utari, Putu Wijaya, Triyanto Triwikromo, dan Ni Komang Ariani, dimulai saat Malam Jamuan Cerpen Kompas, Selasa (31/5). Setelah menulis secara langsung di depan undangan, penulisan dilanjutkan secara bergantian dari meja kerja masing-masing. Keenam penulis ini dianggap mewakili 23 penulis cerpen yang diundang malam itu. Judul “Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua” ditulis secara langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang juga hadir. Cerpen ini dipersembahkan khusus untuk merayakan 51 tahun harian Kompas,yang jatuh pada 28 Juni 2016

Telapak Kaki yang Menyimpan Surga

Oleh Ni Komang Ariani

ilustrasi-cerpen-telapak-kaki-yang-menyimpan-surgaSatu harian ini aku mengelus-elus telapak kakiku. Sesekali mencoba menghadapkannya ke arah mukaku. Untuk melihat surga yang konon tersimpan di sana.

Setiap malam menjadi dingin dan kering, ia kisahkan cerita itu. Tentang surga yang tersembunyi dibalik serat-serat hitam di telapak kakiku. “Dibalik keburukan, selalu tersimpan kebaikan. Kebaikan tak akan hilang walaupun tersimpan di tempat yang buruk. Jangan mengeluhkan telapak kakimu yang buruk, kaki yang buruk menunjukkan kau sudah memanfaatkannya sebaik-baiknya. Untuk berbakti. Untuk menjadi perempuan yang agung.”

Mahluk yang agung. Itulah yang ia katakan tentangku. Sambil mengusap keningku yang mungkin bercahaya, ia perdengarkan lagi suaranya yang merdu di telingaku. “Segala lakumu akan membanggakan aku, atau mempermalukanku. Kalau kau meninggikan dirimu, akupun menjadi tinggi. Aku mendengarkan dengan takzim. Menekuri kuku-kuku kakiku yang telah panjang dan tidak terawat.

Aku selalu alpa memotongnya, oleh sebab badan yang penat di dalam hari, dan waktu yang berlari di siang hari. “Tuh lihat kukumu, kotor dan tidak terawat seperti itu. Hal sekecil itupun dapat mempermalukanku.Aku tersipu  menanggapinya. “Saya janji tidak akan membuat malu lagi. Kataku bersungguh-sungguh.

Dia tersenyum ragu. “Bagaimana dengan baju-baju yang aku sarankan sebulan yang lalu. Kamu belum menggantinya seperti yang aku minta. Aku tersengat gundah. “Maafkan saya. Belum ada uang untuk membeli model yang seperti itu. Harga-harga sembako naik.

          Dia melengos gelisah. “Kamu jangan mulai memberi alasan, dengan menimpakan kesalahan kepadaku. Seolah-seolah aku gagal mencukupi hidupmu. Darah deras mengaliri mukanya. Urat-urat di wajahnya menegang. Seperti ada yang menariknya dari keempat penjuru. Hatiku mencelos. Dosa apa lagi yang bakal kubuat sepagi ini. Subuh bahkan belum pergi. Halaman rumah belum disapu, nasi belum ditanak. Pakaian-pakaian kotor masih menumpuk. Baru air panas yang terjerang, untuk menyeduh kopinya setengah jam yang lalu. “Tentu tidak, Mas. Uang bulanan darimu sangat cukup dan melebihi. Sayalah yang tak pandai mengaturnya. Saya perempuan yang teramat bodoh. Maafkan saya.

 Urat-urat yang sempat menegang di wajahnya mengendur. Ia kembali menyeruput kopinya. Terdengar suara kopi terhirup masuk ke liang kerongkongannya.  Wajah itu mulai terlihat tenang. Seperti tenaga dengan air tanpa riak. Ia mengambil sepotong pisang goreng dan mengunyahnya dengan nikmat. Aku menghembuskan nafas lega. Terangkatlah kecemasanku akan sebuah dosa yang akan kulakukan hari ini.

Aku membayangkan perempuan-perempuan itu. Yang matanya bening seperti air sumur dan telah mengunci rapat satupun keluhan yang dapat terlontar. Perempuan yang dinantikan oleh para bidadari di surga. Atau bidadara, laki-laki berwajah tampan berkilauan. Kelak aku akan menjadi salah satu perempuan itu.

“Ya sudah. Minggu depan saya akan ambil uang tabungan. Untuk membelikanmu baju-baju baru. Agar kau menjadi perempuan yang indah dan bisa memasuki pintu surga.”

“Terima kasih, Mas. Tanpamu apakah saya ini.”

Laki-laki itu mengulum senyum. Matanya bercahaya bangga. Perlahan ia mengusap-usap kepalaku. “Telah kuberikan kau kesempatan menjalani pekerjaan paling mulia di dunia, kau harus bersyukur”. Aku memejamkan mata. Meresapi aliran sejuk yang mengaliri hatiku. Mulai hari ini, aku berjanji untuk tidak mengecewakannya lagi. Ya Tuhan, lindungilah niat baikku.

**

Mandi adalah waktu yang teramat dingin dan menggigilkan. Jam empat pagi, aku bisa melihat kulit tubuhku yang mengkerut menahan dingin. Dan entah kenapa, aku tak hendak menyudahi dinginnya. Kulihat lagi telapak kakiku yang mengkerut dengan garis-garis hitam yang terus bertambah. Mungkin garis-garis hitam yang mirip akar-akar merambat itu adalah celah-celah permulaan dimana surga bisa kulihat. Kelak, bila seorang anak terlahir dari rahimku. Kelak, bila aku tidak melakukan kesalahan konyol lagi.

Anak itu yang akan bersimpuh di hadapanku dan mengintip tempias cahaya surga yang menerobos melalui serat-serat hitam yang makin melebar. Aku merindukan bayi mungil itu yang akan memandangku dengan mata penuh pengharapan. Seperti dia juga amat merindukannya.

Kita memang harus menunggu. Menunggu lahirnya cahaya dari surga yang memuliakan hidupmu. Hidup kita. Melanjutkan darah dan daging kita pada generasi selanjutnya.Namun menunggu bukanlah satu-satunya hal yang dapat dilakukan. Kita harus berikhtiar. Kita harus berusaha.”

“Maksud Mas?”

“Kita dapat berusaha, selain hanya menunggu.”

“Maksud Mas, kita harus berobat? Ke dokter?”

“Salah satunya itu.”

“Yang lain apa Mas?”

“Masih banyak usaha lainnya. Tentu saja yang tidak dilarang agama.”

Ada semburat di wajahnya, yang tak sepenuhnya bisa aku tangkap.

Ya sudah. Hari sudah siang. Saya harus berangkat. Jaga rumah baik-baik ya. Jaga juga kehormatan keluarga.” Pesannya waktu itu. Agak terburu. Sedan tuanya menggerung. Aku lupa kapan tepatnya aku pernah duduk di sebelahnya di mobil itu. Sungguh aku menginginkannya. Seumur-umur mobil yang kunaiki hanya angkot. Tanpa AC dan bau knalpot menyerbu dari segala penjuru.

“Aku memang berjanji untuk mengajakmu jalan-jalan, tapi ingat waktu itu akan tiba pada hari pertama ketika anak kita lahir. Aku akan menjemputmu dari rumah sakit dengan mobil ini. Namun sekarang bukan saatnya untuk bersenang-senang. Kita harus banyak menabung. Bensin mahal kalau dihamburkan untuk jalan-jalan. Jadi mobil ini hanya kugunakan untuk pulang dan pergi kerja. Kau tahu kan bahwa biaya persalinan mahal?”

Aku hanya mengangguk paham. Ia telah merencanakan semuanya. Untuk kami kelak. Aku hanya masih agak konyol. Ingin berjalan-jalan dengan mobil dengannya. Kekasihku. Aku ingin memandangnya dari pipi kiri dan memperhatikan caranya memutar kemudi. Aku memang masih teramat konyol. Aku selalu menepuk-nepuk kepalaku dengan gemas bila mengingat hal itu.

Titik-titik air tergelincir di sekujur tubuhku. Bibirku membiru, namun aku tak hendak menyudahi mandiku. Mungkin karena ini adalah hari terakhir aku mengenakan baju-baju lamaku. Aku ingin mengawasi tubuh telanjangku untuk terakhir kali, memastikannya bersih dari segala kotoran dan luruh pula segala pikiran-pikiran konyolku. Hanah yang lama akan mati. Hari ini akan terlahir Hanah baru.

Suara anjing mungil terdengar dari rumah tetangga. Makin hari, suaranya makin lembut dan jinak. Kudengar tuan rumah mencandai anjingnya dengan gemas. Seperti dia yang makin mengasihiku mulai hari ini.

Matanya bercahaya seperti bintang-bintang, tepat ketika aku mengenakan pakaian baru pemberiannya. Kuingat tumbuh telanjangku yang mengkerut dan membiru. Aku ingat telah menggosok keras-keras semua daki.

“Aku rasa inilah saatlah Hanah, aku mengatakan sesuatu yang penting padamu.”

“Sesuatu yang penting?” kataku ragu.

“Aku rasa sudah waktunya kita berhenti menungggu.”

“Menunggu apa?”

“Menunggu seorang bayi terlahir dari rahimmu.” Katanya tenang.

Air yang mengaliri tubuhku seketika mengering.

“Maksud Mas?”

“Saya telah menemukan seorang perempuan yang dapat membantumu menjadi seorang Ibu?”

Air mataku mengering di sudut.

“Perempuan itu akan kunikahi segera. Agar sesegera mungkin, kau menjadi seorang Ibu dengan telapak kaki yang menyimpan surga.” Senyumnya lembut.

Cairan-cairan di tubuhku bergerak ke arah yang berlawanan dan saling bertabrakan satu sama lain.

“Kamu tidak keberatan kan?”

Aku menggeleng sambil membentuk garis senyuman.

Kembang api berloncatan dari matanya. Warnanya serba cerah.

“Boleh saya minta sesuatu darimu?”

“Tentu boleh Hanah. Mintalah apa saja, karena kau adalah seorang perempuan yang mulia.”

“Saya ingin sekolah. Boleh kan?” Dia terkesiap.

“Tentu boleh. Perempuan harus pintar.”

Aku menarik nafas lega.

“Namun kau harus tahu, kau sekolah tinggi bukan untuk bersaing denganku, apalagi mengungguliku. Kau sekolah tinggi untuk mendidik anak-anak kita kelak menjadi orang-orang dewasa yang berkilauan.”

“Tentu.” Jawabku dengan senyum yang merekah. Terngiang pergunjingan dua kawan perempuanku. Membicarakan tentang seorang perempuan menjijikkan yang bersuamikan dua orang laki-laki. Hatiku seperti direndam dalam cairan asam. Segalanya tak penting, ketika ia mengijinkanku bersekolah. Kelahiranku yang sebenarnya baru terjadi setelah aku sekolah. Sebuah permulaan dari hal-hal yang tidak terbayangkan kemudian.

Tips dan Trik Menulis Cerpen dan Novel

NKA mesin ketik OK

 

oleh Ni Komang Ariani

@menulisfiksi

Banyak orang yang beranggapan bahwa menulis cerpen dan novel itu sangat sulit, padahal menulis kisah fiksi jauh lebih mudah daripada menulis penelitian ilmiah yang terikat pada aturan-aturan pengutipan. Sederhananya menulis cerpen sama dengan menulis suatu momen dalam hidup kita atau hidup orang lain. Bedanya adalah momen itu harus kita ceritakan kembali kepada pembaca. Pencerita yang baik, adalah pencerita yang dengan sabar menggiring membaca untuk mengikuti apa yang sedang kita ceritakan. Kalimat pertama harus kita buat semenarik mungkin, agar mendorong orang membaca cerpen itu begitu melihatnya. Selanjutnya kita harus menyuguhkan cerita, yang membuat pembaca terhanyut sejak awal sampai akhir cerita. Di akhir cerita, kita berharap para pembaca mendapatkan sensasi sekaligus pemikiran baru tentang kehidupannya. Tentu saja kemampuan ini tidak kita dapatkan secara instan. Jam terbang tentu saja akan menentukan kematangan kita dalam menulis.

            Perbedaan antara novel dan cerpen tidaklah banyak. Novel sebenarnya tidak berbeda jauh dengan menulis diari panjang tentang hidup kita atau orang lain. Bedanya dengan diari adalah, kita harus memperhitungkan pembaca kita, selain kita sendiri dalam diari itu. Kita tidak menulis sesuatu yang bisa kita mengerti saja, namun menulis sesuatu yang bisa dipahami dan diikuti oleh pembaca kita. Mendekatkan cerita kita dengan hidup mereka, dan membuat mereka seperti mengalami sendiri cerita yang sedang kita sajikan kehadapan mereka.

Sumber Inspirasi

            Sumber inspirasi untuk menulis cerpen dan novel adalah salah satu yang termurah dan tersedia secara tidak terbatas, asal kita cukup peka untuk menangkapnya. Beberapa teman yang ingin belajar menulis, mengeluh mandeg dan sulit mendapat inspirasi, padahal sumber inspirasi bisa berasal dari kejadian-kejadian kecil yang kita alami setiap hari. Cerpen saya yang berjudul “Katanya Saya Tak Akan Bosan” yang dimuat di Koran Tempo, hanya memuat daftar pekerjaan yang harus dikerjakan oleh seorang ibu rumah tangga, mulai dari membersihkan diri, berdandan, memasak, menata baju untuk suaminya, sampai merapikan koin. Namun tentu saja di cerpen itu, saya menceritakan dengan sabar apa yang sedang terjadi dan mengajak pembaca merasakan apa yang dialami si tokoh.

            Sumber inspirasi ada dimana-mana. Bisa di film, di buku, di bis, di kantor, atau dimanapun. Kalau ingin menulis cerpen dan novel, kita harus gemar mengamati, bahkan bila perlu mencatat hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Dari situ kita belajar, bagaimana tokoh-tokoh tertentu berbicara, bersikap dan merespon peristiwa yang dialaminya. Salah satu cara termudah untuk mulai menulis adalah membaca tulisan orang lain, mengamati bagaimana cara penulis itu mengembangkan cerita. Selanjutnya kita mulai menulis cerita kita sendiri.

Manfaat Menulis

Menulis itu bukan semata untuk eksistansi diri, namun banyak manfaat yang didapatkan oleh penulis.  Dalam sebuah sesi hipnoterapi yang pernah saya ikuti, menulis sesungguhnya bisa menjadi terapi bagi seseorang untuk menyembuhkan luka-luka hatinya, karena menulis tidak ubahnya curhat. Tentu saja curhat dengan teknik yang bisa dipelajari. Hal ini bisa menghindarkan penulis dari depresi, frustasi ataupun penyakit-penyakit mental lainnya. Manfaat kedua yang bisa diperoleh yaitu, penulis melalui karyanya bisa memberi inspirasi kepada pembacanya, karena tulisan fiksi pada hakikatnya adalah upaya untuk menyelesaikan konflik yang dialami oleh tokohnya. Melalui  penyelesaian konflik itu, pembaca dapat mengambil pelajaran. Misalnya dalam cerpen yang saya tulis “Laki-laki yang Tanpa Cela” yang menceritakan tentang suami yang menipu istrinya ketika ia ingin menikah lagi dengan seorang gadis remaja, si tokoh bertindak meninggalkan suaminya, yang sudah tidak bisa dipercaya. Pembaca bisa terinspirasi oleh kisah itu dengan tidak mudah percaya pada kata laki-laki yang tampak sangat sempurna. Atau melalui cerpen saya “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara”, para perempuan diingatkan bahwa kesetaraan gender belum sepenuhnya terjadi. Perempuan boleh sekolah tinggi, namun sudah disiapkan tempat terbaik untuk mereka, yaitu dapur dan urusan domestik.

 Langkah-langkah Menulis Cerpen dan Novel

  1. Perbanyak membaca apa saja, sesuai dengan hobi. Membaca merupakan bagian penting dalam menulis cerpen dan novel. Bila perlu, membaca dimasukkan ke dalam jam kerja menulis setiap harinya.
  2. Gemar mengamati dan mencatat sekeliling dan mencatatnya.
  3. Setiap menemukan kalimat yang bagus, menuliskannya langsung di buku tulis atau laptop.
  4. Cerpen dan novel segera dituliskan sesuai dengan ide yang ada di benak, yang kemudian bisa diedit kembali, sampai cerpen dan novel itu memiliki jalinan cerita yang runtut dan dapat diikuti oleh pembaca.

Praktek Menulis Cerpen

  1. Bayangkan sebuah momen dalam hidupmu yang sangat menarik untuk dituliskan menjadi sebuah cerita. Misalnya momen ketika kau berpisah dengan cinta pertamamu. Atau momen ketika kau menjadi seorang ibu.
  2. Pilih sebuah kalimat pertama yang bagus. Karena kalimat pertama yang menentukan cerpenmu akan dibaca atau tidak oleh editor sebuah koran dan pembaca. Buatlah kalimat pertama yang menarik minat pembaca untuk membacanya. Berikan kesan, melalui kalimat pertama yang mereka baca, mereka akan mendapat suguhan cerita yang mengesankan.
  3. Pada dasarnya sebuah cerita, biasanya bermula dari sebuah pertanyaan kritis tentang apa yang dialami oleh penulis. Pertanyaan kritis tentang adil atau tidaknya aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Bila di benakmu sudah muncul suatu tanda tanya besar, itu artinya, kamu sudah siap menulis sebuah cerpen.
  4. Jangan takut untuk merasa gelisah, sedih, kecewa, patah hati, disakiti dan lain sebagainya, karena perasaan-perasaan itulah yang seringkali mendorong lahirnya karya-karya fiksi seperti cerpen dan novel.
  5. Tulislah setiap kali ada ide. Jangan takut jika tulisan pertamamu belum terlalu bagus. Setelah tulisan pertama ini, kamu dapat selalu mengeditnya dengan kata-kata dan kalimat-kalimat yang lebih baik.
  6. Pelajari dengan seksama cara penulisan Bahasa Indonesia
  7. Mulailah menulis dan mengirimkannya ke media-media yang diinginkannya.

Praktek Menulis Novel

Menulis novel memerlukan ketelitian dan energi yang lebih besar daripada menulis cerpen. Untuk menulis novel, yang bisa dilakukan adalah sesering mungkin berlatih. Jam terbang di dunia penulisan memang tidak akan pernah bohong.

  1. Tulislah ide cerita mengenai novel yang akan ditulis.
  2. Tuliskan juga ide-ide mengenai hal-hal apa saja yang akan kamu masukkan dalam novel tersebut. Misalnya kamu ingin membuat novel tentang derita seorang istri yang dipoligami oleh suaminya.
  3. Semakin hari, kamu bisa membuat rencana novelmu semakin matang, dengan mulai merencakan awal, tengah dan akhirnya. Di bagian Awal, Tengah dan Akhir ini pun bisa dibuat semakin detil. Contoh:
  1. Awal: Ida seorang istri terpuruk ketika suaminya minta kawin lagi
  2. Tengah: Ida mengalami penderitaan bhatin yang hebat karena harus berbagi suami
  3. Akhir: Ida baru mengetahui suaminya telah menipunya. Suaminya mengagunkan rumah mereka untuk meminjam uang. Akhirnya Ida memutuskan untuk bercerai dan mencari laki-laki lain yang lebih baik.
  4. Proses menulis novel tidak ubahnya proses perenungan secara terus-menerus untuk memahami dan mengembangkan karakter yang sedang kita tulis dalam sebuah novel. Dalam menulis novel, penulis memang mengambil peran seperti Tuhan, yang menentukan nasib dan jalan hidup tokoh-tokohnya, namun peran ini tidak bisa dilakukan dengan semena-mena, seperti petir di siang bolong. Petir hanya mungkin terjadi di tengah awan yang mendung, yang kemudian berubah menjadi hujan. Untuk bisa menulis dengan baik cerita tentang “Petir” ini, penulis harus melakukan riset mendalam tentang terjadinya “Mendung dan Hujan”. Dengan begitu, penulis dapat memberikan gambaran yang meyakinkan tentang cerita yang sedang dibuatnya.
  5. Pentingnya memilih setting novel yang kuat. Setelah menulis dua novel, Senjakala dan Jas Putih, saya menyadari setting merupakan sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan. Senjakala yang merupakan novel pertama saya ditulis dengan setting yang kuat yaitu candi tebing Gunung Kawi. Candi tebing itu memang mempesona saya sejak awal. Ketika pertama kali menulis novel, saya bertekad untuk menulis novel yang bersetting candi tebing gunung Kawi. Novel yang pertama kali saya tulis itu versi pendeknya menjadi pemenang I Lomba Menulis Cerber Femina Tahun 2007, ketika diterbitkan oleh penerbit Koekoesan terpilih menjadi Long List Khatulistiwa Literary Award. Setting yang kuat telah membantu saya untuk menyelesaikan novel pertama saya dengan baik, walaupun ketika itu jam terbang saya dalam menulis masih sangat sedikit. Tentu saja setting bukan satu-satunya komponen penting dalam novel. Cara bercerita yang lancar dan dapat menghayutkan pembacanya menjadi hal terpenting dalam penulisan novel. Untuk bisa menulis novel dengan baik, kita harus terus berlatih. Caranya dengan semakin  sering menulis dan membaca karya-karya penulis yang lebih senior.

 

Celebrating Indonesia’s literary fiction tradition

IMG_20160724_142840Sebastian Partogi/The Jakarta Post

As part of its annual literary fiction program, Indonesia’s leading daily newspaper Kompas has launched its annual best short story anthology, consisting of work printed by the paper throughout 2015. The event was held in conjunction with an awards ceremony for its best fiction writers.

Many writers flocked to Bentara Budaya Jakarta on May 31. As well as those whose works were selected for the anthology, Education and Culture Minister Anies Baswedan, pianist and composer Ananda Sukarlan, painter and scholar Mudji Sutrisno, Nano and Ratna Riantiarno of Teater Koma were also seen among the crowd.

Kompas has a short story page that runs every Sunday that publishes the works of numerous literary writers across the nation. The tradition started in 1972 to give space for writing outside the journalistic discipline, according to Kompas chief editor Budiman Tanuredjo.

Education and Culture Minister Anies Baswedan (left) shakes hands with Indonesian poet, prose writer and playwright Putu Wijaya (right) as others look on.(Kompas/Lucky Pransiska)

In his opening speech, minister Anies Baswedan said that it was the duty of literary writers to spur the growth and development of the Indonesian language by exploring and opening themselves up to the possibilities of its usage.

According to Anies, the Indonesian language had around 23,000 dictionary entries in 1943, a number that has expanded to 94,000 in 2015. The expansion is relatively small when compared to the English language, which has around a million dictionary entries and expands at a rate of 8,500 entries per year.

“This is because English writers open themselves up to new words. Indonesia has [more than] 700 local languages, which should serve as a good reserve to enrich our language,” he said.

He added that the ministry was considering the idea of collaborating with short story writers to support its policy of a mandatory 15-minute reading period of non-school textbook materials by students, in order to promote reading habits among Indonesians.

(Read also: 12 Indonesian books you should add to your reading list)

This policy was one of several implemented in response to a recent study conducted by John Miller, president of Central Connecticut State University in New Britain, which put Indonesia in the second-lowest position of 61 measurable countries for its “literate behavior characteristics”. The study observes various factors, from numbers of libraries and newspapers to years of schooling and availability of computers.

The human face of Indonesia

This year’s best short story anthology was given the title “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” (“This Kid Wants to Urinate all over Jakarta?”).

The book contains the works of 23 writers spanning four generations of the Indonesian literary tradition, namely Agus Noor, Ahmad Tohari, AK Basuki, Anggun Prameswari, Budi Darma, Dewi Ria Utari, Djenar Maesa Ayu, Faisal Oddang, Gde Aryantha Soethama, Guntur Alam, Gus TF Sakai, Indra Tranggono, Joko Pinurbo, Jujur Prananto, Martin Aleida, Miranda Seftiana, Ni Komang Ariani, Oka Rusmini, Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Tawakal M Iqbal, Triyanto Triwikromo and Warih Wisatsana.

The anthology is named after the year’s best short story, written by veteran literary writer Ahmad Tohari, famous for his Ronggeng Dukuh Paruk trilogy (translated by the Lontar foundation with the title of The Dancer). Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? depicts the life of a poor family living beside the train tracks in the Senen area of Central Jakarta in meticulous detail, which can be seen in the writer’s description of them as a raw instant noodle-eating family of three.

The story is centered on the behavior of the young boy in the family, who constantly urinates in random places with his father who always reminds him to be careful so as not to let the urine splash onto his sleeping mother’s body or a pile of clothes.

“I was a bit surprised when my story was chosen as the best one, because the story is a bit vulgar. The father tells the boy that he can urinate anywhere in Jakarta, but not near his mother. This story reflects the anger that I and other artists have when we see what happens in Jakarta, especially along its rivers,” Ahmad said upon receiving the award.

Effix Mulyadi, a member of judges who curated the anthology says in his preface that the story describes how the poor are greatly marginalized in the city.

Meanwhile, Balinese journalist and writer Gde Aryantha Soethama received the lifetime achievement award for his consistency in literary writing.

Born in Bali, he has written numerous journalistic pieces, non-fiction as well as fiction books in the last thirty years. His works are rich with references to the Balinese culture and way of life. His anthology Mandi Api (Immersing Oneself in Fire) won the Khatulistiwa Literary Award in 2006.

“Literary writers are people who sacrifice themselves in order to walk a difficult path, which has become even more difficult these days thanks to so many digital distractions. They, however, persist in enlightening society,” Kompas deputy chief editor Rikard Bangun said.

Fresh themes

This year’s anthology contains a number of new topics rarely seen in previous Kompas best-of collections. Among the most prominent themes are those relating to the lives of lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT) people and the persecution of religious minorities in Indonesia.

Guntur Alam, a writer from Palembang, South Sumatra, for example, contributes the story Upacara Hoe (The Hoe Ceremony), about gay and lesbian siblings who find a new life after their father passes away.

“I want to write about this because the topic is quite popular. Meanwhile, in the Palembang area there are lots of Indonesian-Chinese communities and they have a unique style of funeral procession. So I wanted to incorporate that element,” said Guntur, who has written short stories for various Indonesian media outlets since 2010 and published an anthology last year.

Meanwhile, a newcomer to Indonesia’s literary scene, 19-year-old Miranda Seftiana also writes about various aspects of the lives of LGBT people in her short story.

“I am a psychology student and homosexuality has already been dropped from the classification of mental illness in our diagnostic book (the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). It was also inspired by a number of salons in my hometown of South Kalimantan,” Miranda, who started writing short stories at the age of 13, said.

Meanwhile, Faisal Oddang’s story tells of how followers of the Tolotang local religion in South Sulawesi are forced to convert to one of the religions recognized by the nation, and are witch-hunted and killed by the military along the way.

At the end of the ceremony, writers were challenged to spontaneously compose a short story. A laptop was set down on the stage, and a number of writers like Agus Noor, Dewi Ria Utari and Jujur Prananto were invited to write opening and closing sentences. The ‘frame’ of the story will be distributed via email to all 23 writers to complete and the collaborative effort will be published in conjunction with the paper’s anniversary on June 28.

The audience’s spirits were still high at around 10:30 p.m. and they broke into laughter at one of the spontaneously written fragments about an old writer who received a letter from the “Culture Minister” telling him that he has won a Rp 100 million prize, only to be told later by the same minister that it was probably ‘just the writer’s dream’.

Anies was challenged to give a title to the story. Initially, he titled it Lagi, Surat Menteri Beri Harapan Palsu (Again, the Minister’s Letter Gives False Hope), drawing laughter from the audience, but then changed it to Sang Menteri dan Mimpi Penulis Tua (The Minister and The Old Writer’s Dream). (asw)