oleh Ni Komang Ariani
Saya menemukan perempuan itu duduk lunglai dengan tatapan hampa menghadap jalan raya. Rambutnya yang kriting jarang-jarang berkibar-kibar dipermainkan angin siang yang kering. Entah angin apa yang membawa kaki saya mendekatinya. Duduk di sebelahnya dan memandangnya. Tanpa sepatah pertanyaan dari saya, ia menggumankan kisah hidupnya. Barangkali sesungguhnya ia hendak mencari seorang kawan bercerita.
Perempuan itu, lima puluh tahun usianya, orang Batak yang sudah lama merantau ke Jakarta. Ibu Emela namanya. Ia sedang menunggui anak gadisnya, Yuliana yang sedang terbaring sakit. Kanker kelenjar getah bening yang dideritanya. Kanker ganas itu kini membuat dagu si anak gadis, membesar hingga membuat wajahnya menjadi dua kali lebih besar. Di ujung dagu ada muara yang bernanah. Berkebalikan dengan pipinya yang besar, tubuh gadis muda itu kini ringkih tinggal kulit membalut tulang. Beratnya mungkin tidak lebih dari dua puluh kilogram.
Perkara itulah yang merisaukan hati Bu Emela. Ia sedikitpun tidak punya daya untuk meringankan sakit yang diderita Yuliana. Tiap malam hatinya menangis mendengar erangan Yuliana. Yuliana tak henti-henti mengeluh lelah. Air matanya meleleh-leleh menahankan sakit dan nyeri di dagunya. Terkadang anak itu tertidur di puncak rasa sakit yang sangat. Barangkali saat itu Yuliana bisa beristirahat. Namun tidak Ibu Emela. Bhatinnya semakin menyala oleh rasa pilu yang mengiris jiwa. Menyesal rasanya ia telah melahirkan putri bungsunya itu. Menyesal telah membuatnya sengsara karena kemiskinan yang membelitnya.
Putri bungsunya itu sejak bocahnya telah belajar ikut menafkahi keluarga. Yuliana yang selalu ceria dan lincah, seakan menjadi permata yang menerangi jiwanya ketika kesulitan hidup membuat ia hampir putus asa. Beranjak remaja, Yuliana menunjukkan kecerdasannya dengan kerap mendapat ranking satu di kelas. Padahal seringkali Yuliana hanya bisa makan sekali dalam sehari. Namun anak itu begitu tekun dan tidak pernah mengeluh.
Kemiskinan pulalah kemudian yang menghentikan langkah cemerlang Yuliana hanya sampai kelas dua SMP. Dua bola mata gadis kecil itu sangat kecewa kala itu. Bu Emela hanya dapat membasuh kekecewaannya dengan pelukan erat dan air mata yang berderai-derai. Ia membisikkan kata maaf ke telinga putri tercintanya. Dengan lelehan air mata, Yuliana menganggukkan kepala.
Sejak saat itu, mulailah Yuliana bekerja sebagai buruh pabrik sablon. Setiap hari bergelut dengan bau-bau menyengat dari pewarna, dan menghirup udara berat dari pabrik. Yuliana sehat-sehat saja kala itu. Tubuhnya montok dan rambutnya panjang. Ia selalu merayakan kesenangannya dengan berlari-lari lincah dan teriakan yang ribut.
Namun bertahun-tahun kemudian, tiba-tiba saja gejala-gejala aneh menggerogoti kecerahannya. Dalam beberapa bulan bobot tubuhnya merosot tajam. Panas badannya naik turun tanpa sebab yang jelas. Muncul bisul kecil di lehernya yang makin lama makin besar. Nyeri menandai bisul yang semakin bertambah besar itu. Sementara itu, gatal-gatal yang amat mengganggu ia rasakan di seluruh sekujur tubuhnya. Mulailah Bu Emela mendatangi satu dokter ke dokter lain, satu klinik ke klinik lain, satu paranormal ke paranormal lain, hingga mereka terdampar di rumah sakit ini.
Rumah sakit yang memampang besar tulisan “Pasien Miskin Dirawat secara Gratis”. Namun papan nama itu menjadi pembohong paling culas yang tidak tahu malu. Setaktahu malu pejabat-pejabat rumah sakit yang selalu menjawab dengan diplomatis. Sebebal orang-orang dinas kesehatan yang mengaku peduli pada pasien miskin. Nyatanya sungguh jauh panggang dari api. Dua minggu menghuni kelas tiga rumah sakit ini, Yuliana layaknya hanya berpindah tempat tidur. Tidak banyak pengobatan berarti yang diberikan.
Perkaranya karena mereka tidak mampu membayar obat untuk penyakit kelas berat yang diderita Yuliana. Padahal mereka mengantongi surat keterangan miskin. Namun surat itu tidak banyak manfaatnya. Obat mahal itu tetap harus mereka tebus sendiri. Berharap kepada pemerintah omong kosong belaka. Terlalu banyak prosedur bertele-tele yang harus mereka lalui agar uang pengobatan Yuliana dikucurkan. Padahal penyakit yang kini mengerogoti tubuh Yuliana tidak bisa menunggu berlama-lama.
Bu Emela menghentikan sejenak ceritanya. Ia menarik nafas beberapa kali sambil meraba-raba sesuatu dalam sakunya. Beberapa jenak berlalu namun ia belum juga berhasil menemukan sesuatu yang ia cari di saku bajunya. Tanpa berkata-kata saya sodorkan segelas air mineral. Ia menerimanya dengan senyum kecil yang dipaksakan. Ia meminumnya hingga tandas.
Dan tiba-tiba kesenyapan mengisi ruang kosong diantara kami. Ada suara kidung yang melengking kering terdengar sayup-sayup. Saya mencium aroma dendam yang perlahan-lahan ditiupkan napas Bu Emela yang berhembus satu-satu. Dari kisi-kisi mulutnya yang tidak tertutup rapat saya membaui aroma pahit yang mencekik kerongkongan. Bola mata miliknya bergerak-gerak, namun tidak setetespun air mata meremang di sana.
Hari ini seorang pasien meninggal di ruangan Yuliana. Darah Bu Emela tersirap memandangi tubuh perempuan tiga puluh tahunan yang terbujur kaku di sana. Perempuan yang mewakili kejelataannya. Ia datang seminggu lebih awal daripada Yuliana, dan di minggu ketiga ini nyawanya melayang.
Ia menderita kanker leher rahim yang ganas. Tiga minggu lamanya ia menunggu dioperasi, namun tidak kunjung dilakukan. Perkaranya sekali lagi uang. Rumah sakit ini telah menjadi tiang gantungan pasien-pasien miskin. Kematian mereka dibiarkan terjadi, satu demi satu. Seakan tak satupun penghuni rumah sakit ini menyimpan hati di rongga dadanya.
“Yuliana akan Ibu bawa pulang hari ini!”
Saya menatapnya dengan sorot mata bertanya. “Tidak ada bedanya mati di sini atau di rumah. Dan kami memilih di rumah, ” kata Bu Emela.
Kidung itu kembali terdengar semakin melengking dan kering. Tiba-tiba hati di rongga dada saya rontok, dicacah-cacah lalu direbus di atas tungku yang membara. Saya rapikan notes dan alat perekam saya. Beberapa kata ke luar dari mulut saya untuk menahan keputusannya. Saya berjanji membantunya agar Yuliana segera bisa dioperasi. Saya memintanya untuk bersabar menunggu di ruang rawatnya hari ini. Saya berjanji akan datang dengan kabar baik.
Saya berbicara dengan semua orang yang berhubungan dengan pengobatan Yuliana. Saya datangi direktur rumah sakit dan berdebat panjang dengannya. Saya menuding-nuding dokter-dokter yang merawatnya dengan marah. Beberapa perawat berbisik mengatai saya orang kesurupan. Siang telah lewat dan petang menjelang, dan ternyata tangan saya hampa dari kabar baik yang saya janjikan kepada Ibu Emela. Dengan hamburan kecamuk di kepala, saya mendatangi ruang perawatan Yuliana. Saya ingin tetap menahannya agar tak pulang, dan berjanji berupaya lebih keras lagi.
Saya melongo mendapati tempat tidur Yuliana kosong. Kemanakah ia? Ke kamar mandikah? Bisakah ia ke kamar mandi dengan penyakit seberat itu? Pasien tetangga Yuliana tidak mengijinkan saya menduga-duga lebih jauh. Yuliana sudah pulang bersama ibunya. Tulang-tulang di tubuh saya terasa lolos begitu saja dan jatuh bertumpukan di tanah. Kemana saya bisa menemuinya, Bu? Aku tidak tahu rumahnya. Aku baru masuk pagi ini. Katanya datar. Urat nadi kehidupan seperti telah terbang dari sorot matanya yang menatap saya. Apakah iapun telah meramal skenario nasibnya?
Saya kehilangan jejak Bu Emela dan Yuliana. Ternyata semua data rumah sakit tidak mencantumkan dengan jelas alamat rumahnya. Hanya Utan Jati, Kalideres. Sepekan lamanya saya berputar-putar di Utan Jati untuk menemukan rumahnya. Namun gagal. Di hari ke delapan akhirnya saya berhasil menemukan rumahnya. Rumah milik Bu Emela menghadap sebuah lapangan rumput yang tidak terawat. Sisa-sisa bungkus makanan dan sampah dedaunan bertebaran di mana-mana.
Langkah saya terhenti tepat di depan pagar rumah Bu Emela. Sebuah rumah darurat dengan beranda kayu yang telah lapuk. Di ruang dalam terlihat sofa biru lusuh yang terlihat sebagai benda paling mewah di rumah itu. Sebuah tonggak dengan bendera kuning di ujungnya menyedot perhatian saya.
Tonggak itu tertancap tepat di ujung jari-jari kaki saya. Sosok Bu Emela tertangkap mata saya sedang menjemur pakaian di halaman. Bu Emela yang sebelumnya menekuni cuciannya, perlahan menangkap tubuh saya yang berdiri tegak di depan pagar. Sebuah kesiap yang ditahan berkilat dari kedua bola matanya. Sekejapan berikutnya mata itu seperti hilang isi dan nyawa. Melompong seperti sepasang bola yang dipasang tanpa niat di wajah Bu Emela.
Yuliana meninggal di hari keenam kepulangannya dari rumah sakit. Kemarin pagi mayat Yuliana dikuburkan. Enam hari menunggui Yuliana menjelang ajalnya, adalah hari-hari paling pengap bagi Bu Emela. Semua udara yang ia hirup seperti udara comberan yang membuat nafasnya tersengal-sengal. Andai tubuhnya dapat lenyap dari muka bumi kala itu, akan ia lenyapkan pula tubuh Yuliana. Namun yang dapat ia lakukan hanyalah mendengar, melihat dan membaui sisa-sisa kehidupan di tubuh anaknya.
Saya membaui aroma dendam dari nafas Bu Emela yang berhembus satu-satu. Dari mulutnya yang tidak tertutup rapat tercium aroma pahit yang semakin mencekik kerongkongan. Dari mata miliknya meloncat-loncat percikan bunga api kemarahan. Percikan bunga api itu menyambar-nyambar menjilati tubuh saya. Bunga api itu seperti hendak menyambar hangus tubuh saya.
Saya adalah bagian dari persekongkolan khianat yang membunuh Yuliana. Saya adalah satu dari orang yang berdiri tenang membiarkan kematian demi kematian. Karena saya hanya bisa mencatat, bertanya dan berdebat. Saya adalah pembunuh yang menyembunyikan tangan di punggung. Saya berdiri di sebuah titik dalam lingkaran kebiadaban yang mengacungkan parang dan golok ke dada-dada pasien kelas tiga. Karena saya hanya bisa mencatat, bertanya dan berdebat. Saya tidak pernah berbuat apa-apa.
Menyukai ini:
Suka Memuat...