Kadang-kadang kita tumbuh besar dengan keinginan yang paling ganjil. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi memakai baju bekas. Kamu mungkin menganggapku berlebihan. Seandainya kamu tahu, sampai SMA ibuku tidak pernah membelikan aku baju baru. Ibuku seorang pembantu, ia sering mendapat limpahan baju bekas dari majikannya, dan sialnya anak majikanku seumuran denganku, jadi aku seperti sudah ditakdirkan menerima limpahan baju bekas darinya.
Bedanya, ia tumbuh menjadi anak yang tinggi dan tubuh padat berisi, jauh melampui aku. Walaupun umur kami sama, badannya tumbuh dengan cepat, sementara pertumbuhan badanku merangkak lambat. Mungkin kami berdua bisa menjadi contoh nyata perbedaan pertumbuhan karena perbedaan gizi. Tiap mengingatnya aku hanya bisa tertawa masam.
Wajah Ibu selalu berbinar-binar setiap ia mendapat limpahan baju bekas dari majikannya. Ibu senang bisa menghemat uang untuk membelikan baju-bajuku. Apalagi baju-baju bekas itu masih sangat bagus, berbahan halus, dan pasti berharga mahal. Kalau membeli baju sendiri, Ibu mungkin terpaksa membelikan aku baju berbahan kasar, yang tidak nyaman dipakai. Mungkin karena itu, Ibu senang sekali bila majikannya memberikan tas kresek hitam. Ia langsung tahu apa isinya.
Sebaliknya, setiap kali Ibu pulang dengan dengan membawa tas kresek hitam, aku melengos dengan hati perih. Aku tidak menginginkan baju-baju bekas itu. Aku menginginkan baju baru, walaupun bahannya kasar, walaupun membuat badanku gatal-gatal memakainya. Aku menginginkan baju yang masih terbungkus plastik, yang harus aku copot mereknya bila ingin memakainya. Aku ingin baju yang dibeli khusus untukku. Namun aku tidak sampai hati mengecewakan Ibu yang menyodorkan kresek hitam itu dengan mata berkilau-kilau.
“Sad, bagus-bagus nih baju dari Mas Bisma. Ada superman, batman, micky mouse, kainnya halus. Pasti baju mahal Sad. Ibu beruntung punya majikan yang sebaya dengan kamu. Nggak ada yang tahu ini baju bekas Sad. Orang ngiranya pasti beli baru.”
Aku menyembunyikan remang air mataku. Aku tidak ingin mengecewakan Ibu. Ibu tidak tahu, semua tetangga kontrakan pasti tahu kalau baju-baju yang aku pakai adalah baju bekas. Mana mungkin Ibu mampu membeli baju-baju seperti itu. Ibu lupa, para tetangga kontrakan juga banyak yang bekerja sebagai pembantu. Itu artinya, mereka pun sering mendapat baju lungsuran.
Aku hanya menulis kekecewaan hatiku di buku harian. Aku sembunyikan di bawah tumpukan baju-bajuku. Takut Hasna membacanya. Adikku satu itu memang anak paling usil dan suka menggoda. Hasna sering iri karena aku mendapat lungsuran baju-baju bagus, sementara ia tidak kebagian. Padahal aku lebih senang jika aku menjadi Hasna, dibelikan Ibu baju murah berbahan kasar, yang khusus memang dibeli untukku.
“Mas Asad bajunya bagus-bagus. Kelihatan mahal. Lihat nih bajuku. Nggak nyerep keringat. Siang kalau lagi panas, badan jadi gatel-gatel.”
“Orang kayak kita pantesnya memang pakai baju kayak begituan. Kalau mahal, orang juga tahu ini baju lungsuran.”
“Biar lungsuran tapi kan bagus.”
“Biar bagus kan tetap lungsuran.”
Perdebatanku dengan Hasna sepertinya tidak akan menemukan ujung dan pangkal, seperti perdebatan tentang duluan mana, ayam atau telur. Aku memilih diam dan mengalah. Hanya di buku harian, aku mengatakan apa yang ada di hatiku. Apa hebatnya memakai baju bekas? Baju bekas hanya menjelaskan bahwa kau memang miskin. Tidak ada orang kaya yang bersedia memakai baju bekas. Memakai baju baru membuat aku merasa bisa berdiri tegak, walaupun baju itu jelek.
Tetapi demi Ibu, aku hanya memendam kekecewaanku di dalam hati. Ia pasti kecapean harus bekerja di tiga rumah di komplek perumahan atas. Setiap malam sebelum tidur, aku sering memijit kakinya dengan balsem, dan aku melihat matanya yang berkaca-kaca sambil mengusap rambutku. Lalu mengalirlah nasihat-nasihat dari Ibu kepadaku.
“Kalau kerja kasar seperti Ibu ya pasti capek, Sad. Makanya kamu belajar yang rajin, biar cepat lulus SMA, terus kamu bisa kerja di supermarket. Kamu jadi kasir. Kerjaan gampang, tinggal mencet-mencet komputer. Hebat.”
Aku hanya tersenyum tipis. Menjadi kasir di supermarket adalah impian terbesar Ibu tentang aku.
“Terus kamu juga bisa dapat gaji lumayan. Syukur-syukur kamu bisa lanjutkan kuliahmu dan jadi sarjana. Ibu jadi tidak usah jadi pembantu lagi. Capek le. Belajar yang rajin ya.”
Aku hanya mengangguk kecil sambil terus memijit kaki Ibu.
“Jangan kayak adikmu Hasna, main melulu. Mau jadi apa dia, kalau sekolahnya tidak lulus. Ntar, belum apa-apa sudah minta kawin. Nasibnya jadi sama dengan Ibu. Jadi babu.”
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi nasihat Ibu. Aku hanya ingin melihatnya senang. Aku selalu melakukan apa yang ia minta karena itu membuat matanya berbinar-binar.
Mungkin karena itulah, aku seolah berjalan menuju cita-cita dan impian Ibu. Aku lulus SMA dengan nilai yang bagus, lalu sebuah lowongan kasir datang dari sebuah minimarket di dekat rumahku. Aku mencoba melamar, walaupun aku tidak tahu apakah aku memang ingin menjadi kasir atau tidak. Hanya selang tiga minggu, aku diterima. Ibu melonjak-lonjak gembira. Betul kan kata Ibu, kamu akan berhasil menjadi apa yang Ibu harapkan.
Menjadi kasir bukanlah cita-cita terakhirku. Aku ingin lebih dari menjadi seorang kasir. Sementara ini, aku hanya ingin menyenangkan Ibu. Menggapai cita-citanya.
Tanpa sepengetahuan Ibu, ada perayaan lain bagi diriku sendiri. Aku bertekad membeli baju-bajuku sendiri. Aku menolak lungsuran pakaian dari Bisma. Baju kaos murah seharga tiga puluh ribu mudah ditemukan di supermarket atau di bazaar-bazaar kampung. Kali ini Ibu tidak memaksaku lagi. Mungkin karena ia terlalu girang karena aku berhasil mencapai apa yang dicita-citakannya. Ia sering mampir ke minimarket itu, hanya untuk memandangku dengan penuh kebanggaan saat aku berdiri di belakang kasir dan memencet-mencet komputer yang ada di hadapanku.
Sejak aku bekerja, Ibu hanya bekerja di satu rumah untuk sekedar menambah penghasilan. Ia sekarang mempunyai kesibukan baru. Menyiapkan bekal untukku agar aku bisa menikmati masakannya di tempat kerja. Biar gajimu tak habis buat beli makan, katanya. Sekali lagi aku mengangguk untuk menyenangkannya.
Bagian yang paling kusuka sejak menjadi kasir minimarket ini adalah pada saat aku membeli dan memilih bajuku sendiri. Aku bisa memilih gambar-gambar kesukaanku. Aku memilih model-model yang menunjukkan siapa aku yang sebenarnya. Aku bisa mematut-matut sendiri baju itu, tanpa membayangkan orang lain yang pernah memakai baju itu. Dulu, aku sering mengganti wajahku dengan Bisma ketika mengamati bayanganku di cermin. Sekarang aku bisa menatap bayanganku sendiri dengan senyum puas. Ini aku Asad, bukan Bisma.
oleh Ni Komang Ariani
dimuat di harian Tribun Jabar, 26 Oktober 2014