oleh Ni Komang Ariani
Mas Joko, tengah malam saya terbangun karena mengingatmu. Kepala saya agak pening oleh serentetan mimpi yang bercampur-campur. Saya kangen padamu, Mas. Pada dirimu yg dulu. Saya ingat, bila duduk di hadapanmu, saya bisa mencium bau air sungai coklat tempat kau biasa berenang. Kau anak kecil yang biasa saja. Yang sering menangis meraung-raung kalau keinginanmu tidak terpenuhi.
Ketika namamu menjadi pergunjingan semua orang, saya hanya mencibir kecil. Mana mungkin. Tak ada aura priyayi pada dirimu. Dalam bayanganku, kau hanya akan menjadi laki-laki biasa saja. Lulus kuliah dengan nilai pas-pasan, lalu bekerja di perusahaan perkayuan. Kemudian kau akan mengayuh perahumu di laut yang tenang, bersama istrimu yang penurut.
Anak-anakmu tumbuh besar dengan senyum ramah dan bicara dengan logat Jawa yang kental sepertimu. Mereka tumbuh sebagai warga biasa yang taat. Tidak neko-neko. Lalu kau menua dengan biasa, dan meninggal. Jasadmu dimakamkan di pekuburan umum. Tak banyak yang mengingat namamu, selain keluarga terdekatmu.
Saya tak menyangka jalan hidupmu akan jauh melenceng dari bayanganku tentangmu. Saya tidak tahu siapa yang memulai, tiba-tiba saja sosokmu dibayangkan sebagai seorang laki-laki yang ada dalam ramalan Jayabaya. Keriuhan mengikutimu seperti sekawanan tawon. Orang-orang tak kenal berlomba-lomba menjabat tanganmu.
Kau menerbitkan liur akan harapan yang sudah lama difosilkan di benak rakyat jelata. Kau mungkin akan bersuara sama seperti suara rakyat jelata seperti penampilanmu. Kehadiranmu dikira-kira akan akan membawa terang pada tanah ini. Kehadiranmu akan mengakhiri kegelapan.
Waktu itu saya sempat berguman di dalam hati. Kamu Mas Joko, too good to be true. Pikirin ini pernah membuat saya gundah. Cemas dan was-was. Agak merinding. Siapa yang dapat mengukur dalamnya hati seseorang?
Kadang saya mentertawakan diri saya sendiri, karena saya pernah berfikir, dengan kehadiranmu saya akan menjadi seorang pengangguran. Apa yang dapat saya tuliskan sebagai pengarang, ketika kau memberikan semua kemewahan kepada masyarakat sebelum mereka memintanya. Masyarakat gemah ripah loh jinawi.
Pena kami para pengarang mungkin akan mengering dan jamuran. Tak ada bahan untuk dikritik. Bisa dibilang kami hidup dari mengkritik apa saja. Kehidupan menjadi -terlalu nyaman. Mungkin kami akan lebih banyak menghabiskan waktu leyeh-leyeh dan terkantuk-kantuk di depan TV. Perut pun makin membuncit karena kue-kue manis yang kau sediakan.
Ah, mungkin waktu itu saya sedang nglindur. Atau berhalusinasi. Mencampuradukkan dongeng dengan kenyataan. Apakah kau semata dongeng, Mas Joko?
Mas Jokoku, mudah-mudahan kamu masih mempunyai waktu untuk mendengarku di sela-sela kesibukanmu. Belakangan saya perhatikan wajahmu sering terlihat tegang dan kaku. Tak terdengar tawa khasmu yang selama ini ampuh meredakan konflik dengan pihak manapun.
Sisihkan waktumu barang beberapa jenak untuk mendengar bisikan saya. Saya berharap ini akan membantumu menyelesaikan masalahmu. Kebetulan angin sudah menyanggupi untuk menyampaikannya kepadamu.
Begini Mas. Konon rumah putih yang kau tempati saat ini, telah disiapkan dengan satwa-satwa yang akan menemanimu, dengan syarat kau tidak boleh membawa kodok-kodokmu yang kau sukai itu. Kodok-kodok kesayanganmu sengaja diracun sebelum kau sempat memindahkannya. Sejak menginjakkan kakimu di rumahmu, kau akan ditemani puluhan kelelawar yang dapat saling kawin dan bertambah banyak.
Saya tahu kamu tidak pernah suka binatang berwarna hitam kecoklatan yang sering berdecit-decit ribut itu. Tapi seperti biasa kau tidak ingin meruwetkan urusan-urusan kecil. Urusan pekerjaan akan membuatmu sangat sibuk, jadi kau tidak akan sempat memikirkan binatang-binatang yang tidak kau sukai itu.
Tanpa kau sadari, kurang dari seratus hari, binatang-binatang malam itu membesar dengan cepat. Sayap-sayap mereka melebar, membuat kau mengira-ngira binatang-binatang akan segera berubah menjadi kelelawar raksasa. Konon, para staf khususmu selalu menyiapkan makanan khusus yang diimpor untuk kawanan ini. Mereka beralasan, kawanan kelelawar ini akan menjadi satwa kebanggaan mereka, yang akan dipamerkan untuk tamu-tamu pentingmu.
Alasan yang menemukan pembenaran, karena tamu-tamu undanganmu berulang kali mengungkapkan kekaguman pada kelelawar-kelelawar istimewa itu. Entah mereka memang memuji atau sekedar berbasa-basi. Kau hanya tersenyum tipis menanggapi pujian itu.
Para tamu itu tidak tahu kalau kawanan kelelawar ini kerap beterbangan menyambar tangan dan kakimu. Kau hanya merutuk kecil sambil meraba bekas gigitan binatang-binatang bersayap itu.
Binatang-binatang ini juga menguarkan bau aneh yang sangat menyengat. Di waktu-waktu tertentu, kawanan ini berdecit nyaring dan memperlihatkan gigi-giginya yang runcing. Kau sempat melirik sekilas wajah-wajah binatang ini dari dekat. Menyeramkan. Kau mengusap wajahmu. Kau terlalu sibuk. Tak sempat memikirkan hal-hal kecil seperti ini.
Kau kangen suara kodokmu. Kodok-kodok itu yang mengingatkan kamu pada ketentraman sebuah kampung. Yang membuat tidurmu lelap walau hanya beberapa jam. Apakah kau juga kangen pada ibumu Mas? Ibumu masih rutin mengirimkan doa untukmu. Jangan terpancing sama harta. Milikmu sudah cukup untuk dirimu dan adik-adikmu.
Begini Mas Joko. Saya punya satu permintaan kecil padamu. Usirlah kawanan kelelawar itu dari rumah putihmu. Suara berdecitnya yang ribut, membuat kau tidak bisa mendengar dengan baik dan berfikir dengan jernih. Saya akan menghadiahkanmu sekawanan kodok baru. Tolong masukkan kodok-kodok itu ke dalam kolam berair segar di bagian belakang rumahmu.
Kodok-kodok ini sudah bertahun-tahun tinggal di rumah seorang petani miskin yang konon ingin kau angkat derajatnya. Kodok-kodok ini juga akan saya inapkan selama sebulan di rumah seorang pengayuh becak di Jogja, Harry. Kau ingat nama ini kan? Laki-laki yang mengayuh becaknya dari Jogja ke Jakarta untuk mendukungmu.
Setelah itu, kodok-kodok itu saya inapkan selama sebulan di rumah Ibumu. Ibumu berjanji akan membacakan doa untuk untukmu setiap malam. Amanah ya Nak. Jangan terpancing sama harta. Milikmu sudah cukup untuk dirimu dan adik-adikmu. Bila ingatanmu belum cukup terang, ingatlah lautan manusia yang menyambutmu dulu, dan kerumunan manusia yang terus menyemut di pagar, hanya untuk bersalaman denganmu. Mudah-mudahan kau masih mengingat bagaimana mereka menaruh harapannya kepadamu. Saya masih berharap, kaulah yang dimaksud dalam ramalan Jayabaya itu.