oleh Ni Komang Ariani
Gelegar guntur sepanjang malam tadi begitu memekakkan telinga. Beberapa kali saya terjaga dalam kaget. Terdengar air bergemuruh seperti mengepung kami dari segala penjuru. Kiamat seperti telah diambang mata. Sudah beberapa malam ini, langit Jakarta begitu gelap. Awan hitam bergulung-gulung di langit seperti menyimpan dendam. Mungkin dendam untuk menghukum bumi oleh air bah yang dahsyat.
Sudah dapat diduga, Jakarta dilanda banjir besar. Air meluap dimana-mana, membuat kalang kabut penghuninya. Ribuan orang meninggalkan rumah mereka dan menjadi pengungsi. Nasib itu pula yang menimpa keluarga Iyah, pembantu kami. Rumah sanak-saudaranya di Kampung Melayu terendam banjir lebih dari satu meter.
Sudah dua hari ini Iyah minta ijin untuk menengok keluarganya. Iyah berjanji segera kembali begitu mengetahui keadaan mereka. Namun sampai hari ini ia belum juga kembali. Dan ini membuat istri saya, Dewi uring-uringan. Suara omelannya terdengar melengking-lengking membelah kesunyian pagi.
“Maunya apa sih? Katanya cuma menengok kakaknya. Eh ini, sudah dua hari belum kembali. Begitulah pembantu jaman sekarang, maunya enaknya sendiri!”
“Sudahlah Wi, namanya juga musibah. Biarlah dia pulang agak lama. Mereka sudah susah, ditambah banjir, mereka tambah susah lagi. Malah mestinya kita bantu Iyah dan keluarganya!”
“Saya bukan tidak kasihan pada dia, Mas. Cuma mbok ya ngasih tahu. Jangan bikin orang ngarep-ngarep begini!”
“Mungkin telepon terlalu mahal buat Iyah, Wi. Juga sulit di daerah bencana begitu!”
“Mas memang gampang aja ngomong begitu. Saya harus urus Ditya sendiri dan pekerjaan rumah yang seabreg. Sementara Mas tinggal tenang-tenang saja, makanya bisa sabar!”
Saya terdiam mendengar kata-kata Dewi. Mungkin ia ada benarnya. Laki-laki terkadang dibilang lebih sabar daripada perempuan. Tapi benarkah begitu? Mungkin laki-laki menjadi lebih sabar karena hidupnya terlalu gampang dalam budaya kita. Contohnya saya. Walaupun penghasilan saya sebagai pegawai negeri tidak lebih baik daripada Dewi yang membuka gerai kerajinan di depan rumah, saya tetap saja mendapat privilege untuk ongkang-ongkang kaki. Begitu bangun tidur di pagi hari, secangkir kopi sudah disiapkan oleh Dewi yang bangun subuh-subuh.
Pukul tujuh pagi itu pasti sudah banyak yang dikerjakan Dewi. Mulai dari memasak, menyiapkan pakaian Ditya yang mulai masuk playgroup sampai membenahi rumah yang berantakan. Makanya ia sangat pusing kalau Iyah tidak ada. Karena selain setumpuk pekerjaan itu, ia juga harus mencuci baju keluarga dan mengepel lantai. Belum lagi ia harus bersiap-siap membuka gerainya sebelum siang menjelang. Sementara saya, hanya perlu bangun, mandi dan menikmati sarapan saya, kemudian berangkat kerja.
Padahal Dewi juga sarjana dan lulus cum laude di jurusan ekonomi. Namun posisinya sebagai perempuan membuat Dewi terpaksa berhenti dari kariernya yang cemerlang di bursa saham di Jalan Jenderal Sudirman. Kini ia membuka gerai kerajinan di depan rumah dengan hasil lumayan menjanjikan. Penghasilan Dewilah yang menyelamatkan keluarga kami dari besarnya kebutuhan tiap bulannya. Tapi ya itu tadi. Karena ia perempuan dan tinggal di sini… di Jakarta, di Jawa ini, nasibnya menjadi kurang beruntung.
Tetapi terlepas dari itu, untuk soal yang satu ini—-maksud saya soal Iyah— saya tentu saja lebih benar. Dewi mestinya jangan marah-marah, karena Iyah dan keluarganya memang benar-benar harus dikasihani. Rumah mereka yang sederhana di Kampung Melayu, Jakarta Timur, tenggelam seluruhnya oleh banjir besar yang melanda Jakarta. Seluruh keluarga Iyah, mulai dari kakaknya, suami kakaknya hingga neneknya yang sudah renta terpaksa mengungsi dan tinggal di tenda. Mereka makan dan minum dari bantuan pemerintah dan belas kasihan orang lain.
Memang masih beruntung, seluruh keluarga itu selamat, namun seluruh harta benda yang mereka miliki—yang jumlahnya tidak banyak itu—tenggelam oleh banjir yang datang layaknya gelombang raksasa. Mereka hanya sempat menyelamatkan nyawa dan pakaian yang melekat di badan.
“Wi, sudahlah… Saya cuti dan bantu kamu. Kamu jangan marah-marah sama Iyah. Mereka sudah tidak punya apa-apa lagi, sedangkan harta milik kita masih utuh. Kita mesti bersyukur tidak kena banjir juga!”
Dewi terdiam. Ia memandang saya sesaat. Kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya membereskan rumah. Pada dasarnya ia perempuan yang baik hati, namun menjadi perempuan di negeri ini memang tidak mudah. Terlalu banyak hal yang dituntut dan diharapkan dari perempuan.
Melihat Dewi hanya diam saja, saya bergegas mengambil sapu ijuk. Saya mulai menyapu lantai yang berdebu. Kemudian saya mengepel, lalu mencuci pakaian keluarga dan menata perabotan rumah yang berantakan. Ah… tengah hari bolong, sederet pekerjaan itu baru selesai dan pinggang saya terasa sangat pegal, sementara pergelangan kaki saya terasa lemas luar biasa. Pantas saja Dewi menjadi gampang marah-marah.
Hari itu Dewi lebih banyak diam. Entah apa sebabnya. Apakah ia masih dongkol pada Iyah atau ia sengaja begitu agar saya yang menyelesaikan pekerjaaanya yang menumpuk? Ah biarlah ia sekali-sekali beristirahat dan melemaskan otot-ototnya.
Hari ini kami sepakat menyusul Iyah ke rumahnya di Kampung Melayu. Sudah seminggu Iyah tidak berkabar sejak kepergiannya menengok saudaranya. Kami kuatir akan nasib Iyah dan keluarganya, walaupun kabar awal yang kami dengar, mereka semua selamat. Saya dan Dewi juga membawa bahan makanan dan pakaian layak pakai—siapa tahu Iyah dan keluarganya atau pengungsi lainnya– membutuhkan.
Kami sampai di perkampungan tempat tinggal Iyah. Banjir telah sepenuhnya surut sejak matahari bersinar terik dalam beberapa hari ini. Walaupun banjir telah surut, bekas-bekasnya masih nyata terlihat. Sampah dan lumpur menyebarkan bau tak sedap. Belum lagi bangkai tikus, kecoa bahkan ular, terlihat berserakan di mana-mana. Kawasan ini memang tiap tahun terendam banjir. Masyarakatnya barangkali telah terbiasa dengan rutinitas menghadapi bencana ini.
Kami bertanya ke sana ke mari mencari lokasi pengungsian Iyah dan warga lainnya. Kemudian tibalah kami di beberapa tenda yang berukuran lima kali lima meter. Tenda-tenda itu tampak lengang. Hanya beberapa anak, bayi dan orang-orang tua yang terlihat di sana. Mungkin sebagian besar warga sedang kembali ke rumahnya masing-masing karena banjir telah surut. Mereka membersihkan rumahnya sekaligus menjaga harta benda yang tersisa dari tangan-tangan jail penjarah. Begitu yang saya baca di koran.
Saya bertanya tentang Iyah dan keluarganya kepada seorang bocah berumur sekitar sepuluh tahun yang sedang bermain layang-layang di tanah lapang itu. Bocah itu menunjuk seorang nenek dan seorang bocah lima tahunan di tendanya. Saya dan Dewi bergegas menuju tenda yang ditunjuk. Kami tahu perempuan tua itu adalah Nenek Iyah dan bocah itu pasti keponakannya. Kami datangi perempuan yang sudah sepuh itu dan memperkenalkan diri. Saya pergunakan bahasa Jawa halus karena mengetahui Iyah dan keluarganya berasal dari Jawa. Kami membawa sekedar bantuan dan ingin bertemu Iyah. Ia menyambut pemberian kami dengan diam. Wajah itu berubah muram dan berkaca-kaca.
“Iyah meninggal dunia tersengat listrik. Mayatnya sudah dimakamkan kemarin.” Ia menjawab dalam bahasa Jawa yang terdengar datar dan dingin.
“Apa…? Bagaimana bisa Bu?” tanya saya dan Dewi hampir bersamaan.
“Saat masih banjir sebetis, Iyah nekad mencari wartel terdekat. Ia mau menelepon pacarnya dan mengabari Ibu mengapa terlambat. Ternyata di tengah jalan, Iyah menginjak kabel terbuka dekat tiang listrik. Mungkin sudah takdirnya.”
Lirih suara Nenek Iyah. Mulut kami menganga. Saya dan Dewi tergugu. Iyah ternyata amat setia. Saya lihat wajah Dewi memerah dan matanya berkaca-kaca. Mungkin dibenaknya bergumpal setumpuk penyesalan.
“Maafkan kami Bu, kami turut membuat Iyah bernasib semalang itu!” kata Dewi dengan terbata-bata.
“Bukan salah Ibu, memang takdirnya Iyah. Padahal anak itu begitu baik dan rajin. Diantara semua cucu saya, saya paling mencintai Iyah.
Dewi tampaknya tidak dapat menahan luapan perasaanya. Wajahnya basah oleh lelehan air mata. Ia mencium tangan perempuan itu dan memeluknya lama. Kami pamit dengan dada sesak.
Di mobil, dalam perjalanan pulang, air mata Dewi masih meleleh-leleh. Sesekali terdengar isak tertahan.
“Saya yang salah ya, Mas?” Dewi memandang saya dengan matanya yang merah
“Nggak dong, Wi. Kamu capek, wajar kamu menjadi gampang kesal dan marah. Mestinya saya bantu kamu. Yang jelas Iyah sangat setia. Setia pada pacarnya. Setia pada kita. Sayang ia kurang pengetahuan tentang bahayanya listrik di saat banjir. Yah… mungkin memang takdirnya. Tapi yang membuat kita prihatin, bencana banjir membuat harga nyawa manusia demikian murah, padahal ia datang tiap tahun sebagai bencana musiman.”
Dewi memandang saya sesaat, kemudian mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Memandang kerlip lampu jalanan yang berpendar karena senja telah tiba. Kami berusaha menyakinkan hati bahwa kota ini suatu saat akan lebih ramah kepada warganya.
Jakarta, awal Februari 2007
Termuat dalam Buku Kumpulan Cerpen Lidah