Lidah

Lidah

Oleh: Ni Komang Ariani

Ni Ketut Rapti baru betul tiba di Jakarta dari perjalanan panjangnya dari Rendang, Karangasem, desa permai nun jauh di kaki Gunung Agung. Kini, di ruangan kecil, pengap, Ketut menyeka keringat yang deras menetes. Kulit legam dan alis tebalnya basah oleh keringat.

“Boleh saya lihat lidah kamu?”
“Tentu Pak!” Ketut menjawab dengan tekanan yang dalam pada huruf T.
Ketut kemudian membuka mulutnya lebar dan menjulurkan lidah.
“Ada yang kurang beres dengan lidah kamu?”
“Ada apa ya Pak?” tanya Ketut kuatir.
“Pasti banyak kata yang tidak bisa kamu ucapkan dengan tepat. Betul tidak? Waktu kamu bilang “tentu” saja sudah aneh. Wah bisa jelek image perusahaan saya. Kesannya tidak profesional.”
“Apa maksud Bapak dengan profesional? Bukankah tugas saya hanya menerima telepon?”
“Ya betul, tapi cara berbahasa kamu tidak sempurna, nggak bagus bagi image perusahaan saya.”
“Tapi Pak, di iklan hanya menyebutkan dibutuhkan tamatan SMA. Saya tamat SMA bahkan selalu juara satu, mengapa saya tidak diterima?”
“Cuma satu karena lidah kamu. Suara kamu sih bagus. Benerin dulu tuh lidah, baru lamar lagi ke sini!”

Dengan langkah gontai, Ketut meninggalkan ruang wawancara yang panas bukan main. Terik matahari di luar juga tak kalah panasnya. Gagal sudah harapannya untuk segera mendapat pekerjaan di Jakarta. Ketut masygul bagaimana ia akan mencukupi kebutuhan hidupnya di Jakarta.

Ketut Rapti sibuk membolak balik koran minggu di tangannya. Begitu banyak lowongan yang terhampar, namun Ketut amat tak yakin apakah ia akan segera bisa bekerja di Jakarta. Sudah tiga bulan, berbagai lamaran kerja ia kirimkan, sejumlah wawancara ia lakukan, namun tak satupun berhasil ditembus. Ketut makin kuatir ia akan semakin merepotkan Me Man dan Pak Yan, tempatnya menumpang sekarang.

“Masih sibuk cari lowongan?” Pak Yan mendatangi dengan secangkir kopi di tangan. Pak Yan adalah adik Ayahnya di kampung.
“Ya Pak Yan, sulit sekali tembusnya.”
“Kamu cuma tamatan SMA soalnya. Sekarang semua perusahaan butuhnya sarjana.”
“Tapi yang saya lamar cuma lowongan untuk tamatan SMA kok Pak Yan, tapi ternyata sulit tembus juga.”
“Mungkin karena kamu sekolah di kampung, jadi kalah saing dengan tamatan SMA di kota. “
“Tapi di kampung saya selalu juara satu, masa masih kalah jauh sama anak SMA di kota?”
“Kali aja perusahaan itu nggak merasa cocok dengan kamu. Biasanya perekrut memikirkan kepentingan perusahaan. Sabar aja Tut, nanti Pak Yan coba tanya-tanya di kantor atau relasi, siapa tahu kamu bisa bekerja di sana. Kamu nggak usah kuatir soal tinggal di Pak Yan. Pak Yan senang kok kamu tinggal dan bantu-bantu Me Man. Masalah pekerjaan kita cari pelan-pelan!” hibur Pak Yan. Ketut Rapti hanya mengangguk lemah mendengar kata-kata Pak Yan.
**

Sebuah gelombang merah bergulung mendekat. Bukan. Bukan gelombang. Ia lebih layak disebut permadani merah sewarna darah. Permadani tebal dan hangat. Permadanikah ini? Ketut Rapti tidak paham betul gulungan benda raksasa yang bergerak merayap mendekatinya. Permadani itu menjulur-julur seperti hendak menelannya dalam gulungan. Ketut semakin takut saat gulungan merah itu semakin mendekati tubuhnya yang tergeletak tak berdaya. Ia tertelungkup dengan tangan dan kaki terpaku ke bumi. Tak ayal gulungan merah—entah permadani entah apa itu—menggulungnya dalam sekali terjang. Melilit dan menghabiskan tubuhnya yang mungil.

Tiba-tiba ia merasakan lendir dan hangat pada benda merah berbintik itu. Benda seperti ini ia kenal betul, bahkan rasanya ia miliki. Tak salah lagi, gulungan itu adalah lidahnya, namun dalam ukuran raksasa. Mengapa lidah yang kenyal dan tebal itu menggulungnya, melilitnya seperti naga raksasa? Mengapa? Lilitan lidah raksasa itu kian terasa memenuhi tubuhnya, melenyapkannya, menjeratnya, terus dan terus. Ketut Rapti masih bertanya-tanya dalam benak saat gelap makin mencengkram dan kesadarannya makin menghilang.

Ketut terbangun dalam penat yang sangat. Mimpi yang aneh. Bagaimana mungkin ia bermimpi lidah raksasa menggulungnya? Ada ada saja. Saat beranjak dari tempat tidur, Tantenya, Me Man telah menyongsongnya dengan dahi berkerut.

“Tumben bangunnya siang banget, Tut, sakit?”
“Nggak Me, mimpi aneh aja semalam!”
“Mimpi apa?” Me Man mengikuti Ketut yang menuju kamar mandi
“Mimpi digulung lidah raksasa, ha ha ha!” Ketut terbawa terbahak. Lupa ia, betapa takutnya semalam, saat Sang Lidah Raksasa menjeratnya.
“Aneh sekali, apa ya artinya?” kata Me Man dengan mimik serius.
“Sudahlah Me, paling cuma bunga tidur. Mimpi aneh begitu.” Ketut beranjak mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
“Ya sudah, habis mandi, langsung ambil sarapan di meja makan!” teriak Me Man, saat Ketut Rapti mulai mengguyur tubuhnya dengan air yang sejuk.
**

Ketut Rapti menyudahi ketikannya di layar komputer. Matanya terasa amat penat. Dipandanginya hamparan sofa mewah dan perangkat keramik mahal di ruang tamu. Suara Made keponakannya, terdengar sesekali. Entah mengapa, meskipun amat lelah hari ini, Ketut merasa amat puas. Belum pernah merasa demikian puas. Atau ia baru sadar akan keberhasilannya setelah sekian tahun bekerja dan bekerja. Ia terus bekerja tanpa sempat berfikir.

Atau barangkali karena ini adalah bulan Januari. Sepuluh tahun yang lalu ia datang ke Jakarta di bulan yang sama. Dan kebetulan bulan Januari ini pun amat berdekatan dengan Galungan sepuluh tahun yang lalu. Sebulan setelah Bapak meninggal, yang membuatnya terpaksa merantau jauh dari Bali.

“Mbok Nik…!” Ketut memanggil pembantu di apartemennya.
“Ya Tut…” Mbok Nik setengah berlari menghampiri Ketut
“Tiang mau ke Pura, tolong buatin sesajennya.”
“Buat kapan, Tut?”
“Buat hari ini, nanti malam!”
“Tidak ada rainan kan?”
“Nggak pa pa, saya pengen saja ke Pura!”

Ketut Rapti ingin berdoa ke Pura hari ini. Ini untuk merayakan kemenangan dan kepuasanku, kata Ketut dalam benak. Inilah hari dimana ia datang ke Jakarta sepuluh tahun yang lalu. Inilah saat ketika ia hampir merasa putus asa dan menyerah. Inilah saat ia kehilangan kesempatan karena lidahnya. Ketut Rapti merayapkan pandang ke sekeliling.
**

Semua kisah Ketut Rapti berpusat pada lidah. Entah mengapa ia begitu terobsesi pada lidah. Mungkin ia begitu, sejak ia memimpikan sebuah lidah raksasa menggulungnya. Sejak saat itu, ia mulai mencoreti buku tulisnya dengan gambar-gambar lidah. Lidah beraneka rupa dan bentuk. Lidah dengan berbagai ekspresi dan aktivitas. Lidah yang menjulur. Lidah yang menjilat. Lidah yang sedang mengunyah atau lidah yang sedang diam di dalam mulut yang tertutup rapat. Kemudian ia mulai menggambar lidah di kanvas. Dengan warna merah darah sewarna lidah. Lukisannya bertambah, hari demi hari. Setiap hari dengan sebentuk lidah. Lama-lama lukisan-lukisan itu memenuhi kamarnya. Berjejal hingga yang tertinggal hanya tempat tidur dan celah sempit untuk keluar masuk. Pak Yan terkesiap mendapati kamar Ketut Rapti yang begitu sesak. Kau berbakat Tut. Walaupun objek yang kau gambar sangat aneh. Mari kita jual lukisanmu.

Mulailah mereka mengisi pameran demi pameran. Dengan sisa-sisa perhiasan warisan yang mereka miliki. Orang-orang yang melihatnya merasa bergidik sekaligus tertarik, geli sekaligus takjub, melecehkan sekaligus memperhatikan. Beberapa kolektor gila membelinya dengan harga tinggi. Kolektor lain ikut-ikutan. Kolektor amatiran apalagi. Akhirnya lukisan Ketut menjadi trend di kalangan kolektor. Semakin banyak yang memburu dan memperbincangkan. Lukisan Ketut menjadi bahasan hot dalam berbagai diskusi tentang lukisan. Namanya mulai santer diperbincangkan. Ia ditulis dalam profil-profil di koran-koran. Seorang gadis sederhana yang menjelma pelukis yang istimewa. Semua keajaiban terjadi begitu cepat dan mudah. Dan tiba-tiba saja Ketut dikepung kemewahan yang belum pernah ia bayangkan.

Ketut tentu saja tidak bodoh. Ia bertekad mereproduksi dan membiakkan kemewahan yang ia miliki. Ia mulai mencari ide-ide baru. Kini ia bukan saja melukis. Ia mulai memahat. Memahat aneka rupa lidah. Aneka rupa warna dan bahan. Ketut juga belajar menganyam lidah. Terciptlah aneka rupa lidah tiga dimensi yang kadangkala cantik juga kadangkala mengerikan. Dan sekali lagi, sang nasib sepertinya sudah berpihak padanya. Wahyu keterkenalan dan kekayaan seperti sudah digariskan di jidatnya. Apapun yang dikerjakan Ketut selalu menjadi tambahan uang baginya.

Patung-patung lidahnya laris manis. Diburu kolektor dan orang biasa. Kerajinan anyam lidahnya pun tidak ketinggalan. Kerajinan manis ini mulai menyerbu mall-mall. Ketut Rapti menggaji ratusan pekerja untuk mengerjakan lidah-lidahnya. Lidah menjadi genre baru yang disukai anak-anak muda selain beruang, panda, koala, maupun gajah. Entah mengapa lidah-lidah itu terlihat begitu manis dan innocent. Cocok dipajang di meja belajar atau rak pernik-pernik ruang tamu.

Berikutnya Ketut Rapti terus bergerilya menggandakan lidah-lidah uangnya. Ia sudah berencana untuk bekerja sama dengan produsen boneka bulu ternama. Ia akan memproduksi boneka lidah dalam jumlah massal. Merk Ketut Rapti akan disulam rapi pada setiap boneka bulu itu. Lidah itu akan diproduksi dalam berbagai ukuran dan warna. Mulai dari yang paling mungil sampai seukuran raksasa berbentuk tempat tidur bayi.
Semua rencana ini telah dipersiapkan matang. Seorang ahli logo ternama disewa untuk mendesain trade mark Ketut Rapti. Seorang PR terkenal juga disewa untuk mempublikasikan narasi dibalik logo itu. Ketut Rapti dikisahkan sebagai seorang perempuan sederhana yang berhasil memperjuangkan hidupnya. Melepaskan dirinya dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Menarasikan ide-ide pembebasan kepada masyarakat. Ia berhasil memutarbalikkan ketertindasan menjadi kekuatan yang memberdayakan.

Dan kapitalisme menjadikan “Ketut Raptinisasi” bagai cendawan di musim penghujan. Setelah merchandise-nya laris manis, kisah Ketut Rapti mulai ditulis dalam berbagai buku. Aneka judulnya bertebaran di toko-toko buku ternama. Ketut Rapti Melawan Diskriminasi Lidah. Ketut Rapti, Masa Kecil dan Nilai-nilai Hidupnya. Belajar dari Seorang Ketut Rapti. Ketut Rapti: Dari Kaki Gunung Agung ke Menara Pencakar Langit Jakarta.

Tidak cukup hanya sampai di situ. Kini patung-patung Ketut Rapti mulai dibuat. Stiker-stiker bergambar wajah Ketut Rapti juga diproduksi massal. Belum lagi kaos-kaos bergambar Ketut Rapti yang bertebaran di pedagang-pedagang kaki lima. Lidah-lidah Ketut Rapti terus beranak-pinak. Terus… dan terus… Ketut Rapti hanya tersenyum kecil setiap kali bangun pagi. Segera akan ia buka jendela dan memandangi hamparan lidah yang menjulur panjang ke bawah. Sosok Ketut Rapti terlihat kecil di jendela lantai dua puluh apartemen miliknya yang berbentuk rongga mulut dan lidah menjulur semerah darah.
***

Termuat dalam Kumpulan Cerpen Lidah
Diterbitkan Pustaka Pergaulan 2008

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s