Mak

Bukan Permaisurioleh Ni Komang Ariani

Aku sering memandangi wajah Mak diam-diam, berharap di wajah itu ada segurat senyuman yang tidak pernah aku sadari. Usaha yang sia-sia. Tidak ada secuilpun senyum di sana. Wajah itu selalu terlihat masam dan cemberut. Apakah Mak sudah lupa cara tersenyum? Apakah hati Mak tidak pernah senang?

Bukankah sekarang Mak sudah menjadi perempuan hebat. Uangnya banyak. Ia bekerja sebagai buruh cuci di tiga rumah sekaligus. Penghasilannya hampir sejuta. Mengapa Mak tidak juga senang? Tidak tersenyum-senyum.

Dulu, ia selalu mengeluh mengenai uang yang kurang. Penghasilan Bapak yang ngepas sebagai tukang bangunan. Mak sering ngomel karena setelah lima tahun mengadu nasib di Jakarta, ia merasa belum punya apa-apa. Mak pengin punya kulkas seperti nyonya-nyonya majikannya. Betapa seringnya Mak menyebut kulkas dalam omelannya kepada Bapak.

Mestinya Mak senang dengan penghasilannya yang sekarang. Bukankah Mak hanya sekolah sampai kelas tiga SD di Jawa, sekedar bisa membaca dan menulis. Sebaliknya, wajah Mak malah semakin masam, dan semakin cemberut. Ia semakin sering marah-marah. Setiap pulang kerja, Mak mengeluh mengenai harga barang yang terus naik, majikan yang pelit, teman kerja yang pemalas sampai dengan rumah yang berantakan karena aku anak yang pemalas. Tidak pernah ada yang benar di mata Mak.

Bagiku Mak bekerja seperti orang kesetanan. Ia bekerja terus-menerus seolah tubuhnya adalah sepotong karet yang tidak membutuhkan istirahat. Mak berangkat bekerja ketika pagi masih gelap. Aku biasanya terbangun saat mendengar berisik suara air di kamar mandi. Lalu, aku akan membuka pintu kamar sedikit dan mengintip Mak. Mak selalu melakukan hal yang sama setiap pagi. Ia tidak suka sarapan. Ia hanya meminum segelas kopi susu instan, lalu memanaskan sayur singkong kesukaannya. Kadangkala ia menggoreng satu potong ayam goreng sisa kemarin. Aku tidak peduli bila Mak tidak masak karena aku tidak pernah menyukai masakannya yang keasinan. Apalagi Mak juga tidak pernah bertanya kepadaku aku suka makan apa. Aku sudah terlampau kenyang dengan keluhan Mak yang tidak pernah habis.

Mak pulang setelah petang hampir habis dengan langkah kaki yang terseok-seok karena kelelahan. Tenaganya sudah tak bersisa setelah membersihkan tiga rumah majikannya. Ia mencuci, menyapu, mengepel, menyetrika dan menyiram tanaman di setiap rumah yang didatanginya. Tangan-tangannya bergerak sangat cepat, seolah ingin berkejaran dengan waktu. Mak selalu mereka-reka mana pekerjaan yang bisa dikerjakan bersamaan, mana yang harus dikerjakan lebih dahulu karena harus menunggu, mana yang dikerjakan paling akhir agar selesai pada waktu yang paling cepat. Pada saat aku mengikuti Mak bekerja, tak sekalipun ia menoleh kepadaku. Pikiran Mak kuyup pada mempercepat pekerjaannya. Mak kadang lupa memperhatikan apakah pekerjaannya sudah baik atau tidak. Sudah memuaskan buat majikannya atau tidak. Mak hanya ingin cepat pindah ke rumah lainnya.

Mak selalu menganggap bahwa aku anak yang rewel, ia selalu membandingkan aku dengan Kak Nanda, yang dikatakannya sebagai anak baik. Kak Nanda yang selalu mendapat nilai bagus di sekolah dan tidak pernah minta macam-macam. Sementara aku bagi Mak sangat merepotkan. Aku sering menangis keras di pagi hari yang membuat ia mengunciku di kamar mandi sampai aku berhenti menangis. Aku ingin protes karena Mak bekerja seperti orang kesurupan dan tidak pernah mau mendengar cerita-ceritaku. Namun ia malah sibuk mencercaku karena nilai-nilai sekolahku yang jelek.

Kalau saja Mak mau mendengarku, aku ingin bercerita banyak hal. Bercerita tentang guru kesenianku yang sering memuji gambarku yang bagus dibanding teman-teman sekelasku. Aku ingin bercerita tentang teman-temanku yang sombong. Teman-teman yang selalu memamerkan barang-barang mahal yang mereka punyai. Darimana mereka dapatkan barang-barang yang begitu mahal? Memang beberapa dari teman-temanku adalah anak pemilik kontrakan yang kaya, tapi mengapa harus memamerkan barang yang sebenarnya tidak mereka pakai? Aku sudah berusaha mengatakan itu kepada mereka, namun mereka malah menyebutku sirik karena tidak mampu membeli. Ah, mungkin mereka ada benarnya.

Aku sering melamun bahwa aku mempunyai seorang Mama seperti yang dimiliki oleh anak-anak di sinetron. Seorang Mama berpakaian rapi, berwajah lembut dan selalu memanggil anaknya dengan sebutan sayang. Mau makan apa Sayang? Mau minta apa Sayang? Mak tidak akan pernah mengucapkan itu di depanku.

Ah tidak, sesungguhnya aku tidak berharap sejauh itu. Aku cukup senang mempunyai ibu seperti Bu Lik Inah yang sangat baik pada anak-anaknya sekalipun ia juga seorang buruh cuci. Bu Lik sering membelikan anak-anaknya mainan walaupun harganya sangat murah. Namun yang paling aku suka dari Bu Lik Nah adalah Bu Lik sering bertanya pada anaknya Nisa dengan kata-kata : “Mau makan apa Nis, nanti Mak masakin.” Bu Lik Nah mestinya tidak lebih kaya dari Mak. Bu Lik Nah hanya bekerja di dua rumah di komplek atas sana dan suaminya hanya supir angkot, tapi aku lebih suka Bu Lik Nah menjadi ibuku. Bu Lik Nah berwajah lembut dan murah senyum sementara wajah Mak keras seperti batu. Mungkin karena Mak menumpuk begitu banyak kemarahan di hatinya.

Yang paling aku benci dari Mak adalah ia tidak habis-habisnya berantam dengan sesama buruh cuci yang mengontrak di rumah ini. Entah masalah apa yang membuatnya begitu sering berantam. Bila berantam, mulut Mak akan meruncing dan suaranya akan terdengar mencicit seperti suara tikus. Mak juga sering berantam dengan Bapak yang merasa tidak dipedulikan. Ah Tuhan, mengapa Mak justru menjadi begitu menyeramkan sejak ia mempunyai banyak pekerjaan di komplek sana. Dulu, ketika belum bekerja, Mak masih cukup telaten mengurusku dan Kak Nanda.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Mak? Pernah terpikir di benakku barangkali Mak sudah kerasukan mahluk halus dari kali atau pohon besar di dekat kontrakan kami. Karena kadang-kadang wajah Mak yang sedang marah terlihat sangat menyeramkan seperti genderuwo. Apalagi Mak sendiri juga meyakini dirinya sebagai orang yang sering kerasukan roh atau mahluk halus. Setiap kali tubuhnya terasa tidak enak maupun sakit, ia percaya ia sudah diganduli mahluk-mahluk yang tidak kelihatan itu. Setiap kali itu pula ia membuat ramuan dan jampi-jampi untuk mengusir mahluk halus dan mengobati dirinya.

Aku sebenarnya ingin memberi tahu Mak tentang tingkah lakunya yang menjengkelkan. Banyak tetangga kami yang sudah membenci Mak dan menjauhinya. Namun Mak tidak pernah memberiku kesempatan untuk bicara. Ia tidak pernah mau mendengarkanku. Ia terus saja bicara seolah-olah hanya kata-kata dari mulutnya yang layak untuk didengarkan. Jangankan untuk bicara, setiap kali melihatku, wajah Mak sudah mengeras dan tubuhnya menyala. Bagi Mak aku adalah anak perempuan yang kurang ajar dan pemalas. Ia sering membentakku karena aku lupa membantunya mencuci atau menyetrika. Anehnya, Kak Nanda tidak pernah mendapat tugas yang sama, padahal ia dua tahun lebih tua daripadaku. Mak juga sering mengungkit kebiasaanku menonton TV sehingga aku tidak pernah belajar dan nilai ulanganku menjadi buruk. Bagaimana mungkin ia akan mendengarkanku?

Beberapa teman Mak sering berbisik-bisik menggunjingkannya. Gosip yang beredar mengatakan Mak sudah membuat perjanjian dengan penghuni pohon besar dekat rumah kami yang terkenal angker. Konon Mak sering datang ke pohon besar itu, menghaturkan sesaji dan meminta agar ia selalu mempunyai banyak pekerjaan dan banyak uang. Karena itulah Mak menjadi sangat pemarah dan menakutkan. Karena jin penghuni pohon memiliki banyak permintaan yang harus dipenuhi oleh Mak. Gunjingan lain mengatakan bahwa jin itu mungkin sesekali sudah mengganduli Mak sehingga wajahnya bisa terlihat sangat hitam dan menyeramkan.

Aku sendiri tidak begitu yakin dengan pergunjingan itu. Menurutku Mak hanya terjebak pada keinginannya sendiri untuk mempunyai banyak pekerjaan dan banyak uang. Dan keinginan itu adalah keinginan yang tidak pernah ada habisnya. Seperti berjalan terus-menerus tapi tidak ketemu tujuan yang dicari. Bukankah cukup uang dan cukup pekerjaan lebih baik? Tapi Mak pasti tidak percaya dengan pendapatku, ia selalu merasa menjadi orang yang paling tahu.
**

Hari-hari selanjutnya aku berusaha tidak peduli pada perilaku Mak. Mungkin Mak memang sudah memilih jalan itu dalam hidupnya. Sampai pada suatu siang yang tidak terduga bagiku, Mak pulang lebih cepat dengan wajah kacau. Wajahnya yang kaku dan keras makin menyeramkan dengan mata yang menyala dan bayang kehitaman pada kerutan di wajahnya.

Sejak saat itu, perangai Mak berubah drastis. Tiba-tiba ia kehilangan wajah garangnya dan berganti dengan kemurungan. Di sela-sela waktu ketika ia makan, mencuci atau menonton TV, Mak terlihat sering bengong melamun, kemudian matanya berkaca-kaca. Entah apa yang dipikirkannya. Aku tidak berusaha menanyainya, bahkan aku berusaha menghindarinya. Mak memang tidak pernah memedulikan keberadaanku. Hanya Kak Nanda yang terlihat prihatin pada keadaan Mak. Kak Nanda memang sangat baik. Karena itukah Mak sangat menyayanginya? Apakah memang ada anak-anak yang terlahir menjadi anak baik atau sebaliknya menjadi anak bengal sepertiku?

Ah sudahlah…. Mungkin aku memang bukan anak yang disenangi Mak. Walaupun begitu Mak adalah ibu yang melahirkanku. Sekalipun tidak menyukainya, aku tidak membencinya. Karena itu aku kuatir juga melihat keadaan Mak yang terlihat begitu sedih. Mak akhir-akhir ini sudah tidak lagi berangkat subuh-subuh untuk bekerja. Ia berangkat agak siang dan pulang lebih cepat. Aku juga pernah melihatnya menangis diam-diam, di waktu yang dikiranya tidak ada orang di rumah. Apa yang terjadi padamu, Mak?

Di suatu tengah malam yang hening, aku terbangun oleh suara tangisan lirih di kamar kontrakan kami. Aku melihat Mak menangis sesegukan di sudut kamar. Suaranya lirih namun terdengar begitu nelangsa. Diam-diam di hatiku terbetik rasa kasihan. Aku pura-pura masih tidur dan membuka segaris mataku untuk memperhatikan Mak. Tangisnya tidak juga reda bahkan terlihat semakin menjadi. Mak menutup kedua mukanya dan bahunya terguncang-guncang. Ia terlihat putus asa. Aku kembali menutup mataku berusaha meneruskan tidur sambil berfikir-fikir apa yang menyebabkan Mak menjadi begitu.

Beberapa hari lewat setelah tangis tengah malam Mak, ia sudah terlihat pulih seperti semula. Wajahnya sudah terlihat lebih tenang. Rutinitas Mak tampaknya memang berubah. Ia hanya bekerja beberapa jam saja di komplek perumahan atas. Ia mengerjakan pekerjaan rumah dengan lebih santai. Yang agak menyenangkan, Mak mulai memasak makanan yang lumayan enak lagi untuk kami. Ia tidak lagi serba terburu-buru seperti orang kesetanan lagi.

Satu hal yang membuatku semakin heran, Mak tidak lagi sering marah-marah padaku. Ia tidak lagi membentak-bentakku bila aku lupa mengerjakan pekerjaan rumah. Sesekali ia mengajakku bicara dan menanyakan kegiatan sekolah. Mak betul-betul sudah berubah. Apakah yang sesungguhnya mengubahnya? Diam-diam hatiku merangkai sebuah jawaban. Sekalipun aku meyakini dugaanku ini, aku tidak pernah berani menanyakannya kepada Mak. Aku cukup bersyukur Mak sudah berubah menjadi lebih lembut kepadaku, sehingga setidaknya aku tidak lagi berkhayal memiliki seorang Mama seperti anak-anak di sinetron atau ingin menjadi anak Bu Lik Inah. Mak kandungku sudah cukup membuatku bangga dan bahagia. Terima kasih atas perubahanmu Mak.

Terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Bukan Permaisuri. Dapat dibeli melalui website ini seharga Rp. 35.000,-

Senja di Pelupuk Mata

Bukan Permaisuri
Kumpulan Cerpen Bukan Permaisuri oleh Ni Komang Ariani

Rumah kayu berhalaman luas ini demikian riuh. Dedaunan kering tersapu angin bergulung di tanah, menghadirkan bau legit setelah gerimis sempat menerpa. Inilah saat putri bungsuku, Wardhani akan berpamitan untuk pergi ke rumah suaminya. Para tetangga juga semua kerabat berkumpul memberikan ucapan selamat dan salam perpisahan.

Suasana begitu riuh namun berlawanan dengan yang kurasakan di hatiku. Entah mengapa jiwaku terasa sangat hampa. Sesak tanpa jelas sumber dan asal usulnya. Tiga anak perempuan yang kukandung selama sembilan bulan satu persatu sudah meninggalkanku. Luh Wayan, putri pertamaku sudah menikah dengan seorang bule yang menyukai kemampuan Luh menari. Greg–nama mantuku itu–memboyong putriku ke Amerika. Negeri yang begitu jauhnya hingga rasanya mustahil dapat kujangkau. Entah bagaimana rupa cucu pertamaku, aku sama sekali tidak tahu. Luh hanya menelepon mengabarkan kelahiran anak pertamanya. Seorang bayi laki-laki bertubuh montok dan berambut pirang.

Kemudian putri keduaku, Made Sari menikah setahun kemudian. Suaminya seorang wartawan asal Jakarta. Putri keduaku itu juga langsung diboyong ke Jakarta. Ia pun telah melahirkan bayi pertamanya, bayi perempuan yang diberi nama Dina. Dan kini giliran Wardhani, putri bungsuku. Hanya ialah yang akan tinggal di Bali setelah menikah. Ia masih akan tinggal satu kampung denganku. Ia menikahi seorang guru sejarah yang baik hati.

Sebenarnya aku menyukai semua menantuku, yang selalu hormat dan bersikap baik padaku. Namun tetap saja tidak mengurangi rasa sunyi yang tiba-tiba hadir. Besok, rumah ini akan jauh lebih lengang. Kami, aku dan suamiku hanya akan tinggal berdua saja.

Pikiranku melayang ke masa dua puluh tahunan yang lalu. Saat itu kutinggalkan rumahku untuk menikah dengan Bli Gede. Aku menyalami Meme dan Bapa, yang melepasku dengan linangan air di matanya. Masa itu baru berlalu sekejapan mata rasanya. Ternyata masa itu kini menghadang begitu saja di depanku. Karma terjadi begitu cepat.

Anak-anakku telah pergi dengan langkah-langkah panjang dan pandangan mata lurus. Mereka menjauh tanpa niatpun menoleh. Tak lebih tak kurang dengan yang kulakukan dulu. Masa depan bagi mereka adalah sejuta harapan dan cita-cita. Sementara masa belakang bagi mereka hanya ketuaan dan kesia-siaan. Dan di masa itulah kini aku berada.

Bli Gede sepertinya tidak peduli. Senyum cerah selalu ia tampakkan tiap kali anak-anaknya kawin. Setelah itu ia akan kembali menekuni kebiasaan lamanya. Mengelus-ngelus dan bercengkrama berlama-lama dengan ayam jago miliknya. Seakan-akan ayam itu menjadi teman yang begitu akrab. Ayam jago yang pernah menjadi bintang di desa itu, kini cuma bisa mengais-ngais sisa kenangan tentang kejayaan di masa lalu. Sudah lama ayam itu tak mencium bau taji dan darah lawan yang anyir. Dia hanya meringkuk tenang di pojokan dapur, memperhatikan dengan nanar burung-burung dara yang melenggak-lenggok di halaman berebut butir beras yang tercecer.

Bulan demi bulan berlalu, tahun demi tahun lewat. Sisa-sisa tenaga yang kumiliki semakin menipis. Tangan dan kakiku tak lagi cekatan digunakan bekerja sebagai Juru Canang , pekerjaanku selama dua puluh tahun terakhir. Aku lebih sering sakit daripada cukup sehat untuk bekerja. Sementara Bli Gede mulai kehilangan ketajaman sebagai makelar tanah. Makin hari, makin menipis penghasilan yang ia peroleh. Tabungan yang tadinya kami simpan untuk hari tua, pelan namun pasti mulai kami kuras untuk biaya hidup sehari-hari. Belum lagi bila salah satu dari kami jatuh sakit, bobol sudah simpanan hari tua kami itu.

Dengan kondisi keuangan yang demikian pas-pasan, tiba-tiba Bli Gede melontarkan sebuah keinginan. Aku ingin ke Tanah Lot, Iluh. Ingin menikmati es kelapa muda sambil memandang matahari tenggelam di ufuk Barat. Dengan ringan aku menolak keinginan mahal itu. Pergi ke Tanah Lot dan menikmati kemewahan es kelapa muda di restoran ujung tebingnya-jelas terlalu mewah buat kami yang sudah renta ini. Umur kita masih panjang Bli, kita harus punya cukup uang untuk terus hidup. Tahanlah keinginan mewahmu itu. Kataku saat itu.

Namun rupanya keinginan suamiku bukan keinginan main-main. Ia seperti perempuan hamil yang amat mengidamkan es kelapa muda-tanah lot-nya. Berkali-kali ia lontarkan kembali keinginannya itu. Bahkan kadangkala dengan suara yang terdengar memelas. Iluh, Bli ingin sekali berdua bersamamu di sana. Ingin memelukmu seperti pacaran dulu. Tidakkah bisa kau kabulkan keinginanku ini. Ini barangkali keinginan terakhirku sebelum aku mati.

Aku tergugu mendengarnya, namun aku tidak berdaya. Dengan mengelus punggungnya yang telah mulai bungkuk, aku mencoba membuatnya mengerti. Hidup dan nyawa kita lebih penting daripada keinginanmu itu. Sabarlah Bli. Kita memang tidak mempunyai banyak pilihan. Ia memandangku dengan tatapan kecewa. Mintalah pada anak-anakmu, Luh. Mereka cukup kaya untuk membantu kita.

Meminta bantuan anak-anak? Hhh… Mungkin belum ada hukum yang mengatur bahwa anak-anak seharusnyalah bertanggungjawab pada orang tua yang telah mengasuh dan membesarkan mereka. Karena itukah–anak-anak yang telah kubesarkan dan kuperjuangkan seluruh hidupku, lupa bahwa mereka masih memiliki sepasang orang tua yang masih terus melanjutkan hidupnya?

Kata orang, mendidik anak seharusnya iklas, tidak mengharapkan balas budi. Namun benarkah demikian? Sungguhkah aku tidak boleh mengharapkan anak-anakku mencintaiku—sehingga mereka akan berusaha membahagiakanku—seperti aku mencintai mereka sepenuh hatiku. Kenyataan yang menghampar di depan mata, membuat aku memutuskan berhenti berharap.

Tak seorangpun dari ketiga anakku yang mengirimi kami uang. Tidak juga para menantu yang dulu begitu manis saat melamar anak-anakku. Bukan hanya itu, mereka semakin lama semakin jarang mengunjungiku. Tahun-tahun awal pernikahannya, hampir tiap hari Wardhani mengunjungiku. Lama-lama menjadi seminggu sekali, terus semakin jarang menjadi sebulan sekali, lebih jarang lagi menjadi setiap Galungan yang enam bulan sekali, dan sekarang ia hanya datang setahun sekali. Padahal ia satu kampung denganku dan kami masih sering bertemu secara tidak sengaja di beberapa tempat. Begitu juga Made Sari. Ia awalnya pulang tiga bulan sekali, menjadi enam bulan sekali, kemudian setahun sekali setiap mudik lebaran. Sekarang ia hanya pulang dua tahun sekali dengan alasan mengirit pengeluaran. Dan yang sulung lebih-lebih lagi. Sejak menikah belum sekalipun ia pulang. Awalnya ia sering menelepon memberi kabar tentang cucuku di sana, namun sekarang tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Bertahun-tahun tidak sekalipun ia menelepon kami.

Lupakan mereka. Kabarnya mereka sendiri sulit memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga yang semakin berat dewasa ini. Tentu saja berat untuk mereka yang tidak segan-segan mengeluarkan uang berlebih-lebih demi kepuasan diri dan anak-anak tercinta. Namun tidak untuk kedua orang tua mereka yang telah renta. Pengeluaran untuk ketuaan dan kesia-siaan haruslah dipikirkan matang, kalau bisa dibuat seefisien mungkin, seolah-olah hidup mereka selama ini efisien.

Hhh… Buat apa aku mengutuki mereka yang lahir dari rahimku sendiri. Biar kuterima kesendirian kami ini sebagai takdir yang tidak memerlukan alasan ataupun sebab musabab.

Aku mau menjual si jago Luh, biarlah ia dipotong orang. Aku sangat ingin ke Tanah Lot. Kata suamiku suatu kali. Aku memandangnya lama. Mencari kesungguhan di matanya. Aku tidak menyangka ia akan berkata begitu mengingat ia begitu sayang pada jago tua itu. Si jago adalah ayam kebanggaan suamiku. Ia telah malang- melintang dari satu tajen ke tajen lainnya. Ia memenangkan pertandingan demi pertandingan dengan luka-luka di tubuhnya. Ia harus menang, karena kalah berarti mati. Jago tua itu begitu setia padamu. Kau tega menjualnya? Bli Gede hanya terdiam dan memandang nanar pada kepak-kepak sayap si jago yang terlihat di kejauhan.

Rupanya keinginan suamiku untuk pergi berjalan-jalan sudah tak tertahankan lagi. Setelah rencananya urung ia lakukan saat itu, suatu kali aku memergoki Bli Gede dengan wajah murung membuka kurungan si jago, mengambil ayam tua itu pelan-pelan, memasukannya ke dalam anyaman daun kelapa, kemudian bergegas hendak membawanya pergi. Namun entah apa yang membuatnya tiba-tiba mengurungkan niat. Barangkali suamiku itu menjadi tidak tega ketika matanya menumbuk mata si jago yang terlihat lelah dengan kantung matanya yang tebal, dan mata yang me-ungu-sayu. Suamiku mungkin melihat cermin dirinya saat melihat si jago. Jagoan yang ada di penghujung usia. Tanpa digorokpun, ayam itu sebentar lagi akan mati. Saat itu matanya terlihat jengis , mungkin ia jerih juga membayangkan maut yang setiap saat bisa datang menjemput. Maut yang kadang tak merasa perlu memberi alasan atas kedatangannya. Ketuaan, kerentaan kami, telah cukup menjadi alasan yang masuk akal. Perlahan butiran air mengalir di pipinya yang hitam dan keriput.

“Hai jago, kau sungguh beruntung, tak mati seperti ayam aduan lain. Dimana taji menembus jantung, mencabik-cabik perut. Terkapar sebagai ksatria atau kalah oleh ketidakberdayaan!” Tiba-tiba laki-laki tua itu menangis tersedu-sedu. Kadangkala kudengar raungan menyanyat. Kali ini air mata bahkan bercucuran deras.

“Puluhan jago sepertimu mati dalam kalah dan tak berdaya. Tak berdaya menentukan jalan hidupnya sendiri. Terpaksa menjadikan taji satu-satunya cara hidup. Ber-taji atau mati oleh taji. Maafkan aku jago, aku telah membuat hidupmu pun menjadi kalah dan tak berdaya. Mempertaruhkan hidupmu setiap saat untuk alasan yang tidak kau mengerti. Kamu memberi tahu aku rasa kalah tak berdaya itu sekarang. Rasanya amat menyedihkan. Aku telah membuat rasa menyedihkan pada puluhan jago aduan sepertimu…!”

Kembali dia menangis sesegukan. Terdiam, kemudian kembali meraung-raung menyayat. Aku tak sampai hati melihatnya. “Kenapa sampai begitu Bli, tenang saja, besok kita ke Tanah Lot dan beli es kelapa muda yang kamu inginkan itu. Uang depositoku masih ada. Nggak usah nangis seperti itu dong Bli. Kita memang segera akan mati, tapi kita juga tidak tahu pasti kapan waktunya. Kapan harus merasa sedih untuk itu dan berapa lama juga tidak jelas, kenapa tidak tenang saja!”

“Kamu tidak tahu, bukan ajal yang tiang takuti, atau keinginanku yang ke tanah lot itu. Tapi tiang betul-betul baru tahu rasanya, saat ajal membuat kita merasa kalah dan tak berdaya. Saat kerentaan membuat kalah dan tak berdaya. Aku telah memilihkan hidup penuh taruhan nyawa, dengan ajal yang setiap saat datang menjemput kepada puluhan jago yang pernah aku adu, kini si jago memberi tahu aku bagaimana rasanya”.

Suamiku bercerita dengan air mata yang deras mengalir. Aku tak paham dalam tubuh penyabung ayam–yang kadang kala amat keras pada anak-anaknya–tersimpan keperasaan yang demikian dalam. Dari dulu aku tidak suka melihat ia menyabung ayam dan membunuhi ayam-ayam kekar itu, walau akhirnya aku menikmati masakan garang asem yang ia buat. Lupa sudah aku pada ayam-ayam yang mengerang dan berdarah-darah seperti satria di medan laga itu.

Ah, semua rasa memang tampaknya muncul saat kerentaan tiba. Semua penyesalan, kelemahan, ketakutan, kegalauan. Untungnya, aku tidak pernah terlalu perasa. Jadi kepergian anak-anakku yang kubesarkan dengan tetesan keringat, tak terlalu menggangguku. Walau aku kian merasa dilupakan dan ditinggalkan. Mengapa setelah tua kita menjadi tak berharga, tak menarik, tak diinginkan. Mungkin dengan rasa yang samalah aku meninggalkan kedua orang tuaku saat menikah. Dengan langkah-langkah panjang, tanpa sekalipun menoleh.

Diterbitkan di Cerpen Pilihan Kompas 2008 dan terhimpun dalam Buku Bukan Permaisuri.

10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa Ke 14

10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa Ke 14

Setelah direkap, dalam urutan acak, berikut adalah karya-karya terpilih 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke 14

A. Kategori Prosa
1. Afrizal Malna, Kepada Apakah
2. Iksaka Banu, Semua untuk Hindia
3. Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas
4. Ayu Utami, Maya
5. Triyanto Tiwikromo, Surga Sungsang
6. Norman Pasaribu, Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu
7. Rio Johan, Aksara Amananunna
8. Zaky Yamani, Bandar
9. Isbedy Setiawan ZS, Perempuan di Rumah Panggung
10. Remy Sylado, Malaikat Lereng Tidar

B. Kategori Puisi
1. Ook Nugroho, Tanda-tanda yang Bimbang
2. Acep Zamzam Noor, Bagian dari Kegembiraan
3. Hasta Indirayana, Piknik yang Menyenangkan
4. A. Muttaqin, Tetralogi Kerucut
5. Oka Rusmini, Saiban
6. Ahda Imran, Rusa Berbulu Merah
7. Made Adnyana Ole, Dongeng dari Utara
8. Adimas Immanuel, Pelesir Mimpi
9. Tia Setiadi, Tangan yang Lain
10. Mario F. Lawi, Ekaristi

avatar khatulistiwaliteraryawardKhatulistiwa Literary Award

Setelah direkap, dalam urutan acak, berikut adalah karya-karya terpilih 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke 14

A. Kategori Prosa
1. Afrizal Malna, Kepada Apakah
2. Iksaka Banu, Semua untuk Hindia
3. Eka Kurniawan, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas
4. Ayu Utami, Maya
5. Triyanto Tiwikromo, Surga Sungsang
6. Norman Pasaribu, Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu
7. Rio Johan, Aksara Amananunna
8. Zaky Yamani, Bandar
9. Isbedy Setiawan ZS, Perempuan di Rumah Panggung
10. Remy Sylado, Malaikat Lereng Tidar
B. Kategori Puisi
1. Ook Nugroho, Tanda-tanda yang Bimbang
2. Acep Zamzam Noor, Bagian dari Kegembiraan
3. Hasta Indirayana, Piknik yang Menyenangkan
4. A. Muttaqin, Tetralogi Kerucut
5. Oka Rusmini, Saiban
6. Ahda Imran, Rusa Berbulu Merah
7. Made Adnyana Ole, Dongeng dari Utara
8. Adimas Immanuel, Pelesir Mimpi
9. Tia Setiadi, Tangan yang Lain
10. Mario F. Lawi, Ekaristi


Lihat pos aslinya

Laki-laki yang Tidak Mempunyai Cela Sedikitpun

Cerpen Laki-laki Tanpa Cela

Dia hanya memberikan saya waktu sepekan untuk berfikir. Kata-katanya selama sepekan ini begitu manis dan jernih, pertanda itu diucapkan oleh orang yang berhati bening.

Seperti dia. Laki-laki yang yang bagi saya tidak mempunyai cela sedikitpun. Ia bicara tentang keputusan yang terpaksa dilakukannya. Ia bicara tentang perempuan muda yang sedang dirundung kesusahan. Mengandung hasil anak hasil perkosaan, dengan ayah seorang berandal yang sudah masuk penjara.

Dengan berlinang air mata ia mengisahkan cerita itu. Membuat saya makin mabuk pada pesonanya. Berfikir telah menikahi seorang malaikat. Ia memegang erat tangan saya, dan menghapus air mata yang mengalir di pipi. Saya terbenam dalam perasaan yang campur-aduk. Saya makin menginginkan laki-laki itu.

Saya harus melakukannya karena itu sudah menjadi tugas kita sebagai umat manusia. Kita tidak mungkin membiarkannya terlunta-lunta tanpa pertolongan. Saya sangat sedih harus melakukannya. Ini akan menjadi berat untukmu, karena kau tidak lagi menjadi satu-satunya.

Mulut saya terkunci. Betapa inginnya saya menjadi seorang pahlawan, yang rela berkorban sepertinya. Yang membuat dia terlihat makin gagah dan bercahaya. Membuat saya ingin merangkumnya dalam pelukan. Membuat saya semakin ingin memilikinya seorang diri. Hanya seorang diri.

Namun katanya saya tidak boleh egois. Hanya mementingkan perasaan sendiri. Mau berkorban untuk orang lain. Seperti dia. Samakah kami?

Bagaimana cara membagi suamimu dengan perempuan lain? Telah ditemukankah caranya oleh seseorang? Karena saya ingin datang padanya untuk belajar.
Saya sudah berulangkali menasihati diri sendiri untuk menjadi sabar, pasrah dan lemah-lembut, saya tak pernah sungguh tahu caranya. Saya hanya menyimpan kengerian yang menjelma mimpi-mimpi aneh selama sepekan ini.

Sudah seminggu saya bermimpi melihat seekor gurita raksasa sedang menunggu di ambang pintu rumah kami. Gurita itu merentangkan tentakel-tentakelnya sehingga tampak jelas di jendela rumah kami. Di waktu-waktu tertentu, si gurita mengibaskan tentakelnya ke jendela dan menimbulkan suara ketukan. Semakin lama ketukan itu semakin sering. Setiap saat gurita itu bisa menghancurkan pintu dan mengambil alih rumah kami. Mimpi yang ganjil. Namun saya tidak pernah menceritakannya kepada siapapun.

Saya pernah mencoba menceritakan hal-hal seperti ini, dan teman-teman saya mengatakan saya cengeng, egois, manja dan lain sebagainya.
Pikirkanlah dulu. Saya tidak akan memaksamu. Pikirkanlah semalam suntuk. Saya menunggumu besok pagi. Karena waktu yang kita miliki tidak banyak. Lusa mungkin terlambat.

Siapakah saya yang harus membuat keputusan yang begitu pelik? Jika saya mengatakan tidak, saya membayangkan berpasang-pasang mata yang mengatakan saya sebagai perempuan yang tidak mempunyai belas kasihan.

Jika saya mengatakan iya, tentakel-tentakel raksasa itu akan memecah jendela-jendela kaca di rumah kami, memasuki rumah dan duduk di sofa TV yang biasa saya duduki.
Saya tidak mengerti ada orang-orang yang begitu mudah membuat keputusan seperti ini. Mereka yang terlihat anggun dengan senyumnya yang manis dan menenangkan. Mengapa saya tidak bisa meniru mereka sedikitpun?

Saya membayangkan perempuan muda itu di kepala saya. Dengan wajah ranum tak berdosanya? Dengan senyum polosnya yang memantik belas kasihan. Sanggupkah saya melihat perempuan muda itu masuk ke kamar yang sama dengannya. Laki-laki milik saya. Rasa sakit yang sama. Terus berulang sejak saya mengenalnya. Setiap iris rasa bahagia seolah selalu berteman dengan rasa sakit. Mereka teman abadi yang tidak bisa dipisahkan.

Pikiran saya terus berputar-putar, seakan tidak ada batasan untuk perputarannya. Detak jam di jam dua belas malam menyentakkan saya. Subuh akan segera datang, dan saya belum mengambil keputusan.

Dan saya membayangkan kengerian yang lain. Dia akan meninggalkan saya demi menepati janjinya pada perempuan muda itu. Demi hasratnya yang besar untuk berkorban. Karena ia terlalu banyak mendengar cerita-cerita kepahlawanan. Jika begitu, saya hanya bisa menangisi kepergiannya. Merindukan bau kulitnya tiap malam tiba.
Saya terdesak oleh kebuntuan.

Saya menyalakan komputer, ingin mendapat inspirasi seperti yang sudah-sudah untuk tulisan saya. Saya ketik nama perempuan muda itu. Saya cari gambar-gambarnya di internet. Saya mengagumi wajahnya yang bening, dengan rambut panjang yang berkilauan. Perempuan itu begitu indah. Pantas saja membuat laki-laki manapun terpesona. Saya hanya bisa menangkap kegembiraan pada wajah perempuan itu.

Perempuan yang sedang mekar dan menunjukkan ranumnya. Ia pantas menjadi keponakan saya, karena ia begitu muda, dan juga tidak berdosa.
Saya akan berdosa jika tidak menerimanya menjadi teman hidup kami. Perempuan itu bisa menjadi adik saya. Begitu cerita-cerita perempuan anggun yang dapat membagi suaminya. Wajah tidak berdosa itu tidak mungkin mengancam. Kami bisa menjadi keluarga yang rukun.

Saya telah bulat membuat membuat keputusan untuk menerimanya ketika sebuah gambar membuat saya sesak nafas. Perempuan muda itu memeluknya dalam kehangatan. Wajah perempuan muda itu mekar oleh kegembiraan. Dia tersenyum dengan kilauan yang lebih cemerlang daripada matahari. Gambar serupa bermunculan dan memenuhi layar komputer di hadapan saya. Di gambar terakhir, keduanyanya berkecup mesra. Perut saya bergolak mual.

Saya memejamkan mata pada berdetik-detik yang lewat. Menghirup angin yang lewat di hadapan saya. Mengingat bertahun-tahun yang saya lewati bersama dia. Mengingat kalimat demi kalimat yang pernah ia ucapkan. Helai demi helai membuka di hadapan saya. Mengingat rasa sakit yang sama. Bahagia yang berhimpitan dengan rasa sakit. Kadang-kadang terasa ganjil tapi entah mengapa saya tidak pernah memikirkannya.

Di awal pertemuan kami, lima belas tahun yang lalu, ia selalu mengatakan kau adalah matahari yang menyinari hidupku. Di waktu lain ia juga mengatakan tanpamu, hidupku akan menjadi sekumpulan senja.
Setelah itu, entah mengapa saya tidak pernah lagi bertanya atau sekedar bertanya-tanya dalam hati tentangnya. Saya percaya ia adalah laki-laki tanpa cela.
Pun ketika pada malam-malam tertentu, ia tidak pulang ke rumah dengan alasan yang terasa ganjil. Tak pernah terbetik kecurigaan. Seharusnya saya bertanya dan menatap matanya. Kemana kau pergi? Apakah kau bersama perempuan lain?

Kokok pertama si jago menyentakkan saya dari lamunan. Seluruh hidup saya selama lima belas tahun sudah saya putar ulang dalam semalam. Saya memasukkan baju-baju tanpa suara. Memilih barang-barang terpenting yang saya miliki. Saya meliriknya sekilas yang masih lelap dalam tidurnya. Wajahnya menyunggingkan senyum tipis. Saya tak lagi berselera padanya.

Seharusnya ketika ia datang dengan kisah palsunya itu saya memberikan sebuah syarat padanya. Sudakkah kau temukan juga untukku seorang laki-laki muda dan menderita karena ditinggalkan oleh istrinya dengan semena-mena. Laki-laki muda dengan otot yang liat dan senyum yang semanis gula. Kau memintaku untuk menyelamatkannya dan membawanya ke rumah kami.

Tepat ketika selubung gelap berganti dengan terang, saya sudah berdiri di depan rumah, menunggu tukang ojek yang sudah saya pesan. Melintas dalam ingatan saya, kata-kata seorang kawan, bersikaplah awas jika kau hidup dengan seseorang yang kau anggap tidak mempunyai cela sedikitpun. Karena ada dua pilihan yang tersedia, ia bukan manusia atau kau tidak mengenalnya sama sekali.

Cerpen oleh Ni Komang Ariani, dimuat di Media Indonesia, 14 September 2014

Kantor

Kantor

oleh Ni Komang Ariani

Apakah sebuah pekerjaan bisa membunuhmu?

Kantor adalah tempat yang aku datangi setiap hari namun tempat itu seperti menelanku bulat-bulat. Menghancurkan aku pelan-pelan dan sekarang aku telah menjadi pecahan-pecahan kecil yang berhamburan.

Ini bukan aku yang datang pertama kali ke kantor ini dengan wajah sumringah dan semangat yang menyala-nyala. Bertahun-tahun kemudian, aku merasa diriku yang sebenarnya sudah habis.

Yang datang pagi dan pulang sore hari itu hanyalah robot, mahluk yang sudah kehilangan jiwanya.

Anehnya setiap hari aku merasa bertemu dengan robot-robot yang sama pada halte-halte bis yang aku lewati, pada jalan raya tempat aku menyeberang, di supermarket tempat aku belanja. Diantara kumpulan robot-robot itu, jarang sekali yang tampak sebagai manusia.

Mungkin karena itulah, aku tidak lagi memerdulikan tentang jiwaku yang sudah dirampas. Aku menganggap itu biasa. Biasa karena itu terjadi pada semua orang.

Gedung mentereng ini membuat keberadaanku sempurna. Lukisan-lukisan mahal tergantung di dinding, menunjukkan selera tinggi pembelinya. Setiap saat ada janitor yang hilir mudik untuk membersihkan beberapa titik noda yang terlihat, padahal lantai gedung itu sudah begitu mengkilat seakan kau bisa berkaca di sana.

Pada detik berikutnya akan terlihat hilir mudik karyawan-karyawan berpakaian rapi dan wangi. Beberapa kejapan berikutnya, para karyawan keren itu akan terlihat asyik dengan laptop mereka yang tipis, proyektor, presentasi, percakapan istilah-istilah teknis. Semua terlihat sangat canggih dan memukau.

Hanya ketika suasana hening ketika semua orang sudah pulang dan aku masih bengong di hadapan laptopku, aku tidak memisahkan diriku yang sebenarnya dengan seseorang yang bukan aku. Ruhku kembali ke dalam ragaku dan aku menjadi aku yang sebenarnya.

Aku bukanlah perempuan itu yang terlihat begitu kuat di setiap rapat dengan setiap kalimat yang kuucapkan menyihir semua orang dan membuat mereka terpesona. Aku bukanlah perempuan itu, yang pada kesempatan tepat, akan membuat trik-trik untuk menjatuhkan nama atasanku, bila perlu menyebarluaskan isu yang kukarang dengan cerdiknya.

Aku yang sebenarnya adalah perempuan sederhana yang menginginkan hal-hal baik saja. Maafkanlah aku yang terpaksa melakukan hal-hal seperti itu, karena dengan cara itulah aku bisa sampai pada gaya hidupku yang sekarang.

Terus-terang saja, aku terlanjur menyukainya. Terlanjur mencandu padanya. Apa jadinya jika aku harus kehilangannya?

Aku perempuan itu, yang sering dilihat orang di sinetron-sinetron. Bertubuh ramping, berkulit mengkilat dan rambut panjang yang tergerai ke pinggang. Belakangan aku tidak pernah lagi makan di rumah. Aku makin gemar berburu makanan enak dari food court ke food court. Menghabiskan sore minum kopi latte dan sepotong croissant bercita rasa keju.

Bila aku masuk ke dalam bis yang aku tumpangi, orang-orang memandangiku seperti melihat hantu. Bintang sinetron mana nih yang masuk ke dalam bis.

Beberapa sahabatku yang masih tinggal di kota kecil berulang kali memujiku foto profil facebook-ku yang keren. Aku si gadis kota kecil tidak mungkin menjadi sekeren itu di Jakarta. Setelah itu akan mengalir chatingan tentang gaya hidupku di Jakarta.

“Kamu keren banget Salwa? Kerja apa sih sekarang!”

“Aku executive secretary.”

“Sekretaris kan, kok sekretaris bisa keren ya.”

“Aku bosnya sekretaris. Sekretaris yang jabatannya yang paling atas.”

“Sekretaris itu sebagian besar pekerjaannya mencatat dan administratif kan? Apa menariknya pekerjaanmu?”

“Aku sekretaris yang istimewa. Aku adalah pembisik para direktur dan manajer perusahaan tentang apa yang mereka harus mereka lakukan. Aku lebih berkuasa dari seorang direktur, karena setiap ia membuat kebijakan, ia akan bertanya padaku.”

“Wah hebat banget dong kamu. Pantes kamu kelihatan keren banget.”

Aku hanya tersenyum dalam hati mendengar pujian itu. Setelah itu akan mengirim tiga tanda smile kepada teman sekelasku di kampung itu, pertanda aku sangat gembira dan juga sangat menikmati hidupku. Benarkah aku segembira itu?

**

Setiap jam lima sore aku dicekam ketakutan pada keheningan. Keheningan selalu membuatku mengingat siapa diriku.

Beban pekerjaanku belakangan kian bertambah dan menuntut konsentrasiku secara penuh. Aku sering melewati malam-malam disaat aku sulit memejamkan mata.

Aku sering melewati hari-hari disaat makanan terasa tawar. Aku sering melewati pagi dengan mual dan muntah di kamar mandi. Berbagai gejala penyakit datang dan pergi silih berganti. Tapi apa boleh buat, itu harga yang harus aku bayar.

Aku selalu berfikir seharusnya kedokteran modern menemukan suatu jenis vitamin yang bisa memompa energi seseorang menjadi dua kali lipat lebih banyak. Aku memerlukan vitamin itu sekarang juga. Mungkin ada teman-teman yang tahu tentang vitamin sejenis itu.

Ono rego ono rupo, kata sebuah pepatah Jawa. Itu pertukaran yang pantas dengan semua kemewahan yang aku miliki sekarang.

Mudah-mudahan itu pun pertukaran yang pantas untuk beberapa gejala penyakit yang sering aku rasakan, seperti migren, maag, vertigo, gastritis, atau entah apa lagi yang disebutkan dokter.

Kantorku mengganti seluruh biaya perawatanku ke dokter-dokter itu. Jadi ya, memang tidak ada yang perlu dikuatirkan.

Mungkin ini bukan pilihan hidup yang terlalu buruk. Semua orang melakukannya. Bahkan ini sudah menjadi gejala umum yang bernama kesuksesan. Menjadi setengah manusia dan setengah robot. Atau setengah manusia, setengah zombie.

Kedua orang tuaku melihatku sebagai putri mereka yang sukses dan membanggakan. Mengapa tidak boleh menikmati kesuksesanku yang dikagumi orang itu? Pagi akan bertemu pagi. Malam juga akan bertemu malam. Hari akan berganti dengan cepat, dan aku akan melupakannya.

**

Hari keempat belas

Di toilet restoran cepat saji, tempat aku menyantap sarapan pagi, aku memperhatikan bayanganku di cermin. Memandangi pinggangku yang ramping dan berbalut dress kuning polos.

Perempuan itu sempurna. Bayangan itu menunjukkan kesuksesan. Ketika aku melirik wajah yang terpantul di sana.

Aku menghindar untuk berlama-lama memandang tatapan perempuan itu. Hanya mata itu yang jujur menjelaskan siapa perempuan di hadapanku sesungguhnya. Aku tersengat habis.

Tidak berani mempercayainya. Bergegas aku pergi, sebelum mata itu mempengaruhiku lagi.

Setengah menggigil aku memasuki ruanganku, ruangan bosku tepatnya. Masih ada dua jam sebelum laki-laki berperut buncit itu datang. Kubuka horden, membiarkan cahaya matahari leluasa masuk melewati jendela lebar di ruangan itu.

Dari kaca lebar itu, aku bisa memandang gedung-gedung bertingkat atau lalu lalang orang-orang di jalan. Seperti menonton drama kehidupan. Mengharapkan sebuah cerita dramatis yang membuat aku merasa lebih baik.

Setelah itu aku akan memanjakan mataku dengan memandang langit lepas. Memandang langit lepas beberapa selalu membuat aku merasa lebih baik. Melupakan sejenak rasa meriang yang membuat aku agak gemetar sejak pagi tadi. Perempuan canggih sepertiku tidak mungkin menjadi lemah dan tak berdaya.

Langkah-langkah berat menuju ruangan membuat aku gentar sesaat. Sekejapan berikutnya aku sudah menegakkan bahuku dan melatih senyuman di lekuk bibirku. Aku kembali menjadi perempuan itu. Aku yang bukan aku.

Ketika jam makan siang tiba, aku menarik nafas lega. Bergegas aku menuju lift, untuk naik ke lantai lima, ke food court, seperti tawanan yang mencoba kabur dari penjara.

Di sana aku berpapasan dengan perempuan-perempuan cantik, memakai blazer mahal yang bisa aku intip mereknya. Aku adalah bagian dari mereka. Aku menelan ludah yang terasa pahit. Riska teman sekantorku menepuk bahuku dengan gembira. Membuat jantungku hampir copot.

“Hei… kok bengong kayak orang linglung gitu sih? Ngeliat aku seperti ngeliat hantu.”

Aku hanya tersenyum tipis. “Aku lagi nggak enak badan.”

Riska memandangku sekilas. “Ya kamu memang kelihatan agak pucat. Sakit apa, Wa?”

Aku hanya menggeleng perlahan. “Mungkin cuma kecapekan. Mau makan apa kamu Ris?”

“Aku lagi pengen makan burger keju kesukaan kita itu. Kamu mau?”

“Boleh juga deh.” Kataku lirih seperti tidak terdengar. Sudah sepekan ini makanan terasa hambar.

“Kamu kok pucat banget sih Salwa? Tumben ketemu kamu, karena biasanya kamu sibuk meeting ke luar kantor.”

“Ya Ris. Sudah dua minggu badanku terasa nggak enak. Tapi kerjaan tidak bisa ditinggalkan.”

“Ya minta ijin dong, nggak masuk. Namanya juga sakit.”

Aku hanya memandang lesu wajah Riska. Sejak kapankah aku tak diijinkan sakit, seolah aku bukan lagi manusia. Aku malah mencandu padanya. Aku mencandui jiwaku yang dirampas. Burger keju yang biasanya beraroma sedap itu gagal menerbitkan selera pada lidahku yang terasa semakin tawar.

“Hai Salwa, ayo dimakan burgernya. Kok malah bengong?”

“Salwa kamu kenapa? Ayo cerita dong. Wajahmu putih seperti nggak ada darah. Mungkin kita harus ke dokter. Kamu harus periksakan kesehatanmu. Ayo jangan didiamkan. Nanti bahaya lho.”

Aku menjawab pertanyaan Salwa dengan air mata yang mengalir dari kedua kelopak mataku. Pertahananku bobol. Apakah ruh robot itu sudah pergi?

“Lho kok malah nangis sih. Ada apa sebenarnya? Cerita dong ke aku. Tidak perlu sungkan.”

Entah mengapa aku tidak sanggup memberikan satupun jawaban kepada Riska atau orang-orang lainnya yang kemudian mengajukan pertanyaan yang sama. Aku hanya menjawabnya dengan air mata yang mengalir sunyi melewati pipiku.

Pertanyaan-pertanyaan Riska membuat aku tersadar bahwa aku telah membiarkan diriku tertelan bulat-bulat dan dihancurkan pelan-pelan. Membiarkan diriku sendiri habis dan menjadi tumbal.

Pada detik itu juga aku memutuskan membawa tubuhku pergi. Berharap jiwaku masih melekat di sana. Aku mengambil tasku dan berlari menuju lift terdekat.

Terdengar sayup-sayup suara Riska memanggilku. Tapi aku tidak menghiraukannya. Aku bahkan tidak menoleh sedikitpun.

Nafasku memburu. Jantungku berdetak kencang menunggu lift yang tidak juga membuka. Ketika lift mendaratkan aku di lantai terbawah, aku merasakan kelegaan yang hebat. Apalagi ketika cuping hidungku mencium bau matahari dan melihat angkot biru melintas di depanku. Aku memanggilnya tanpa pikir panjang. Aku tidak bisa berhenti tersenyum sepanjang perjalanan.